AA Maramis |
Oleh: Joutje A. Koapaha (Jako) Paputungan
“…Tetapi hampir tidak ada yang tahu bahwa dari antara mereka, terdapat seorang sosok unik yang juga sangat pantas diprioritas peroleh gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Adipradana...”
BAHWA Tanah Malesung Sulawesi Utara (Sulut) sebagai lumbung Pahlawan Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak satu pun yang diragukan masyarakat Sulut plus. Itu terbukti melalui kepeloporan dan keteladanan nama-nama heroik asal Sulut seperti Robert Wolter Mongisidi, Walanda Maria Maramis, GSSJ Ratulangi, John Lee, dan P.N. Palar. Tetapi hampir tidak ada yang tahu bahwa dari antara mereka, terdapat seorang sosok unik yang juga sangat pantas diprioritas peroleh gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Adipradana.
Dari Arsip Nasional Republik Indonesia (RI) yang terangkum dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang dipublikasi Sekretariat Negara RI (Saafroedin dkk. 1995), tercatat sosok dimaksud telah mendapat sejumlah Tanda Penghargaan RI berupa Bintang Jasa, yang menduduki rangking ke-3 terbanyak (yakni enam Tanda Penghargaan RI di samping satu penghargaan Rekor MURI Dunia Abadi sebagai Menteri Keuangan) dari Pemerintah NKRI (bandingkan: dengan Presiden/Proklamator RI Ir. Soekarno sebanyak sebelas Tanda Penghargaan RI; Raden Pandji Soeroso/Gubernur Jateng Pertama sebanyak delapan Tanda Penghargaan RI; Wakil Presiden RI/Proklamator Drs. Mohammad Hatta sebanyak empat Tanda Penghargaan RI; Mr. Muhammad Yamin sebanyak empat Tanda Penghargaan RI; Dr. Sam Ratulangi/Gubernur Sulawesi Pertama sebanyak empat Tanda Penghargaan RI; dan Abdul Rahman Baswedan (kakeknya Dr. Anies Baswedan/Mendikbud Kabinet Kerja Presiden Jokowi sekarang) sebanyak dua Tanda Penghargaan RI).
Melalui pengusulan Yayasan NABIL (Anonymous 2013), salah seorang anggota BPUPKI yang juga dianugerahi gelar sebagai Bapak Bangsa (The Founding Father), Abdul Rahman Baswedan, telah pula terima tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden SBY sebagaimana tertuang dalam Kepres No. 57/TK/2013 tertanggal 13 Agustus 2013. Sehingga Mr. A. A. Maramis sebagai salah seorang putra pejuang terbaik asal Manado, salah satu the founding father NKRI, dinilai sangat pantas untuk dapatkan gelar tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana dan Pahlawan Nasional dari yang terhormat Bapak Presiden RI ke-7 Ir. Joko Widodo.
Pada saat Gubernur Sulut Sarundajang mewakili keluarga Palar menerima penyerahan gelar Pahlawan Nasional atas Bapak P.N. Palar, sempat ditanya Dr. Anhar Gonggong (seorang anggota Tim Penilai Penerima Gelar Pahlawan Nasional) melalui ungkapan: “Anak buah kok telah terima, mengapa komandannya belum?”
Sosok yang dimaksud Dr. Gonggong sebagai komandan adalah seorang putra Kawanua Alexander Andris Maramis atau lebih populer dengan sebutan Mr. A. A. Maramis, yang lahir di wilayah Buha Paniki Bawah Manado. Yang sangat patut mendapat perhatian dan kepedulian semua komponen bangsa dan masyarakat Indonesia, mengingat peran, jasa-jasa, dan pengorbanan beliau yang sangat luar biasa dalam merintis, memperjuangkan, mempertahankan, dan membangun NKRI.
Bahwa falsafah hidup Mr. A.A. Maramis yang terkenal, yaitu jika manusia lahir dalam keadaan telanjang, maka ia harus mati pula dalam keadaan telanjang (bahasa jawanya yang dikalimatkan oleh harian Berita Yudha Jakarta: “Sepi ing pamrih…, rame ing gawe”), yang artinya berbaktilah pada Nusa dan Bangsa secara tulus dan ikhlas dengan tanpa mengharapkan apa-apa. Merupakan sumber inspirasi dan integritas nyata dari faham revolusi mental-spiritual bagi aparatur pemimpin bangsa yang sedang digali dan kembali dihidupkan oleh Presiden Jokowi sekarang. Di mana nilai-nilai luhur dan falsafah kejuangan dan kepeloporan Mr. A.A. Maramis sebagai Bapak Bangsa/Negara Pendiri NKRI patut diketahui, diresapi, diteladani, dan dilestarikan oleh semua komponen generasi penerus anak negeri dalam mengemban tugas dan tanggung jawab kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Bahwa Mr. A. A. Maramis sebagai tokoh sentral kepeloporan memperjuangkan kesatuan dan persatuan NKRI berdasarkan kebhinekaan, toleransi, dan perbedaan kemajemukan: Ras, Suku, Agama, dan Daerah merupakan suatu tonggak sejarah yang nyata dan ekselen dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI. Sehingga Majalah Gatra (edisi khusus hari kemerdekaan terbit 16 s/d 29 Agustus 2012) mendapuk Mr. A.A. Maramis sebagai “Tokoh Lintas Agama Perumus Indonesia”. Yang menyatakan peran besar Mr. A.A. Maramis dalam kapasitas mewakili kaum agama minoritas, warga keturunan, perwakilan daerah Kalimantan, dan Indonesia Timur lainnya dalam perumusan UUD 45, disamping memperjuangkan kemajemukan & HAM dalam tafsir Pemerintah RI terhadap Pancasila. Di mana melalui sidang BPUPKI, Mr. Maramis mendesak pimpinan dan anggota sidang untuk menerima usulannya tentang pemberian kewarganegaraan Indonesia bagi warga keturunan seperti: Tionghoa, Arab, Indobelanda, dll yang telah lahir di Indonesia (Saafroedin dkk. 1995).
Bahwa sejumlah dokumen resmi/arsip Negara menyatakan bahwa sejak berdirinya Republik Indonesia, Mr. A. A. Maramis terbukti sebagai sosok pemimpin nasional yang jujur, berintegritas, dan hidup sangat bersahaja/sederhana serta bersih dari prilaku korupsi. Hal itu terbukti dari banyaknya kepercayaan yang diberi Presiden dan Wakil Presiden R.I Pertama untuk menjabat Menteri Keuangan RI dalam 5 periode pergantian Pimpinan Kabinet R.I yang berbeda. Di samping suatu kepercayaan besar atas Mr. A.A. Maramis melalui mandat/instruksi (Radio Gram) Wakil Presiden Moh. Hatta (berdasarkan Keputusan Rapat Kabinet RI) untuk mengambil alih Pemerintahan Bangsa Indonesia ketika Negara dalam keadaan Pemerintahan Darurat (setelah pasukan agresi Militer Belanda II menggempur pusat pemerintahan RI Jogya dan menangkap Pimpinan RI termasuk para Kabinetnya) saat Mr. A. A. Maramis sedang berada di India, mengemban tugas, menyiapkan strategi dukungan secara diplomatik, dan konsepsi atas pelaksanaan Konferensi Asia (Kartasasmita dkk. 1975; Sudirjo 1982; Andayani 2006). Yang sukses digelar pada 20 s/d 23 Januari 1949 di New Dehli dan kemudian menghasilkan 5 Keputusan Resolusi Dewan Keamanan PBB tertanggal 28 Januari 1949, yang sangat esensi dan hakiki mempertahankan eksistensi dan kelangsungan nafas hidup kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam kerangka upaya dan kegigihan Mr. Maramis menentang dan mengakhiri Penjajahan dan Penjarahan Kolonial Belanda yang dikenal dengan Agresi Militer Ke-II di Bumi Nusantara Indonesia [di mana salah satu korbannya adalah dieksekusinya Robert Wolter Mongisidi (oleh regu tembak mati Westerling) salah seorang putra (pemuda) pejuang kemerdekaan RI terbaik asal Manado, yang juga masih anggota keluarga dekat (sedarah segenetika) dengan Mr. A. A. Maramis (Paputungan 2015)].
Juga tidak banyak yang tahu di balik peran besar Mr. Maramis dalam mengemban tugas sebagai Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri RI, terkait lahirnya konsep dan rekrut dana/modal awal dalam pembiayaan mendirikan sebuah NKRI serta lahirnya konsepsi Resolusi DK-PBB di atas. Termasuk mencari sumber Devisa Negara dan penyediaan dana awal untuk pendirian sebuah lembaga perbankan nasional yang sekarang dikenal dengan Bank Negara Indonesia (BNI 46 yang pertama kali dibuka di Jogya pada 5 Juli 1946, di mana paman Prabowo Subianto (G. Djoyohadikusumo) diangkat sebagai Direktur pertamanya dan pendirian sebuah maskapai penerbangan nasional (Kartasamita dkk 1975; Sudirjo 1982), yang sekarang dikenal dengan Garuda Indonesia Airways (GIA). Di samping keberhasilan merekrut sumber-sumber pendanaan masif dalam merekrut persenjataan/fasilitas tempur yang digunakan dalam revolusi fisik bangsa, dengan menugaskan John Lee sebagai Kapten kapal angkutnya. Di mana hasil penjualan dan barter hasil pribumi tersebut merupakan sumber dana untuk membiayai pergerakan kemerdekaan RI dalam mengusir para penjajah/kolonialis asing di Bumi Nusantara. Yang kesemuanya berakhir dengan Mr. Maramis tanpa memiliki suatu warisan/peninggalan apa pun setelah beliau memasuki purna tugas. Bahkan ketika memasuki usia tua, depresi berat, dan sakit-sakitan, biayah berobat sakit pun hanya diperoleh dari jasa Presiden Soeharto melalui layanan Tim Dokternya di RSPAD. Satu-satunya warisan yang dimiliki keluarga Mr. A.A. Maramis adalah hak pakai atas sebuah rumah tinggal beralamat Jalan Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta Pusat oleh Pemda DKI, tempat di mana antara lain BNI 46 dan GIA lahir.
Bahwa Pemerintah Provinsi Sulut melalui Bapak Gubernur Dr. S. H. Sarundajang, sebelumnya telah lakukan upaya pengusulan sejumlah nama asal Sulawesi Utara (di antaranya Mr. A. A. Maramis), namun belum berhasil. Salah satu kendalanya, adalah belum dilaksanakannya seminar sebagaimana ketentuan kriteria pengusulan yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Perlu diketahui bahwa semasa pengabdian hidupnya sampai dengan ajal kematiannya, Mr. A. A. Maramis tercatat sebagai warga masyarakat DKI Jakarta (beralamat jln. Merdeka Timur No. 9 Jakarta Pusat) dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta (Pandean 2014), menggantikan posisi Mr. R. Soewandi yang diangkat menjadi Menteri P.P&K (S.K. Kemen P. P&K No. 1031/BG. Tata Oesaha tertanggal 28 Oktober 1946). Sehingga pelaksanakan seminar nasional dalam rangka kajian akademik pengusungan Mr. A. A. Maramis sudah seyogyanya dapat dilaksanakan oleh Universitas Indonesia dan pengusulannya dapat juga dilakukan oleh Bapak Gubernur DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat. Untuk itu, dukungan doa restu, bantuan, dan partisipasi aktif semua komponen aparatur sipil, terutama masyarakat Kawanua, sangat diharapkan demi suksesnya pelaksanaan hajatan seminar nasional dimaksud.
Semestinya pelaksanaan seminar nasional untuk kepentingan kajian akademik pengusulan Pahlawan Nasional atas nama: Mr. A.A. Maramis Cs sudah harus rampung pada tahun 2014. Karena anggarannya sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) sudah ditata dan ditetapkan dalam APBD Provinsi Sulut tahun anggaran 2012, melalui keputusan Sidang DPRD Provinsi Sulut. Namun terindikasi kurang pedulinya Gubernur Sulut sebagai otoritas tunggal pengguna APBD terkait pemanfaatan anggaran pelaksanaan seminar dimaksud. Sebab menurut penjelasan mantan Ketua DPRD Pdt. Meiva Salindeho-Lintang pada Bpk. Fanny Lego SE & Drs Annes Supit, yaitu bahwa pemanfaatan dana seminar tersebut telah dialihkan atau dialokasi untuk penanggulangan Banjir Bandang Kota Manado tertanggal 15 Januari 2014.
Olehnya, benar-tidaknya penggunaan alokasi dana APBD tersebut akan menjadi target penyelidikan ORMAS Presiden Jokowi-KPK Pusat Sulut untuk mengusutnya secara tuntas mengingat kemungkinan terjadinya suatu sinyalamen tindak pidana penggelapan/penyelewengan terkait pengalihan pemanfaatan dana seminar dimaksud.
Asal-Usul, Silsilah, dan Keluarga Maramis
Orang-orang yang banyak tahu tentang keberadaan keluarga dan aktivitas hidup Maria Walanda Maramis (Pahlawan Nasional dan Pendiri PIKAT) dan Mr. A. A. Maramis adalah almarhuma Sofie Kornelia Pandean dan seorang putranya bernama Rudy Lody Pandean. Di mana ibu kandung Sofie Kornelia Pandean (yang juga sebagai pejuang NKRI yang mendapat tanda jasa antara lain: Bintang Gerilya, Satia Lencana Aksi Militer Ke-II, Satia Lencana Perang Kemerdekaan I & II, dan Bintang LVRI), adalah kakak-beradik sekandung dengan ibu kandung Mr. A. A. Maramis. Yang bermarga Ticoalu dan juga berdomisili di wilayah Buha Paniki Bawah, sekarang Kecamatan Mapanget Kota Manado.
Bahkan Rudy L. Pandean sebagai kemenakan Mr. A.A. Maramis adalah pribadi yang tinggal bersama mendiang sepasang suami-istri Maramis-Veildhoed menjelang hari tua sampai ajal kematiannya di RSPAD tertanggal 31 Juli 1977. Karena keluarga Mr. A.A. Maramis-Veildhoed tidak berketurunan, Bpk Rudy L. Pandean adalah satu-satunya kemenakan Mr. A.A. Maramis yang memperoleh sebuah surat pernyataan/mandat Mr. A.A. Maramis untuk meneruskan cita-cita perjuangannya demi terciptanya Indonesia Makmur Sejahtera tanpa diskriminasi (Pandean 2014).
Sebelum kenal dan ketemu Bp. Rudy L. Pandean, sejak tahun 2011 Penulis telah observasi lapangan dan membuat sebuah makalah dengan judul “Sejarah, Diaspora, dan Silsilah Dotu Bantik Mandagi (DBM) Sulut”. Yang sebagian substansinya telah dipublikasi secara berseri di kolom Opini harian Komentar dengan judul: “Legasi Darah Biru Mandagi (DBM), Sebagai Pejuang dan Konseptor NKRI” (Paputungan 2015). Dalam artikel tersebut terurai silsilah Pahlawan Nasional Maria Walanda Maramis dan kemenakannya Mr. A.A. Maramis sebagai keturunan DBM.
Sekitar bulan November 2014, Penulis dihubungi sdr. Max N. Sumlang (Ketua Ormas/Perwakilan Media Antikorupsi MAPIKOR dan GERHANA Sulut) untuk meminta kesediaannya mewakili keluarga Mr. A.A. Maramis sebagai pembicara pada sebuah pra-seminar yang digelar IPPHOS, dalam rangka pengusulan Mr. A. A. Maramis dan Mr. A.I.Z. Mononutu sebagai Pahlawan Nasional.
Kemudian Penulis tanya Max N. Sumlang: “Mengapa harus saya yang wakili keluarga Mr. A.A. Maramis?”
Dijawab Max, “Karena menurut Pak Rudy Pandean, Mr. A.A. Maramis adalah pewaris darah Bantik dan ini merupakan permintaan pak Rudy sendiri di samping pak Joutje kan seorang pakar sejarah budaya Sulut.” Setelah pak Rudy Pandean berada di Manado (sejak 10/12 s/d 23/12/2014) dan terjadi diskusi panjang lebar tentang keberadaan Keluarga Maramis dan Keluarga Pandean, dalam upaya penyusunan selengkapnya silsilah keluarga Maramis. Melalui suatu pertemuan di Rumah Kopi BS Tikala Atas, Penulis kembali tanya pak Rudy:
Dijawab Max, “Karena menurut Pak Rudy Pandean, Mr. A.A. Maramis adalah pewaris darah Bantik dan ini merupakan permintaan pak Rudy sendiri di samping pak Joutje kan seorang pakar sejarah budaya Sulut.” Setelah pak Rudy Pandean berada di Manado (sejak 10/12 s/d 23/12/2014) dan terjadi diskusi panjang lebar tentang keberadaan Keluarga Maramis dan Keluarga Pandean, dalam upaya penyusunan selengkapnya silsilah keluarga Maramis. Melalui suatu pertemuan di Rumah Kopi BS Tikala Atas, Penulis kembali tanya pak Rudy:
“Dari mana pak Rudy tahu kalau Mr. A.A. Maramis adalah pewaris darah Bantik?”
Dijawab, “Oh…! Itu penyampaian dari muder sendiri (S.K. Pandean), di mana Mr. A.A. Maramis dan keluarga mudernya adalah keturunan Bantik.”
Dengan sendirinya, sebagian silsilah keluarga Maramis yang sebelumnya telah dibuat Penulis berdasarkan tuturan keturunan keluarga Maramis Buha (Bapak Constatein Koondoko atau Om Moko, warga Buha berumur 86 tahun) dan juga berdasarkan slag bom silsilah Dotu Bantik Rumondor yang disimpan salah seorang ahli warisnya bpk. Hardy Lolong, domisili Buha), setelah ditambah dengan keterangan pak Rudy Lody Pandean, silsilah Dotu Bantik Mandagi (DBM) alias Darah Biru Mandagi semakin disempurnakan sebagai berikut:
Garis keturunan/silsilah DBM yang turun ke Alexander Andries Maramis (Mr. A.A. Maramis) adalah sbb: DBM → Lromondoho (populer dengan sebutan Yopo Nakatutung) → Mopay → Lrumondoho (Dotu Bantik Rumondor yang adalah Pemimpin Distrik Bantik Alifuru terakhir berpusat di Desa Buha-Kairagi) → Maha’misi’ [atau Maramis (yang memiliki dua orang kakak lelaki bernama Sigaha (Sigar) dan Tamandatu (yang turun pada keluarga Jimmy Turambi, bermukim di Kelurahan Kairagi Satu/Kompleks kantor PT. Bosowa); dan seorang adik perempuan bernama Talrayu), yang adalah juga kakak-kakak kandung dari Mogandi Samolra (Samola), dengan berlainan ibu] → Bernadus Maramis (dengan istri Sarah Rotinsulu) → Andries Alexander Maramis atau biasa dipanggil Om Inyo [bersama seorang kakak wanita bernama Anatje Maramis (menikah dengan Hendrik Lasut) dan seorang adik wanita bernama Maria Walanda Maramis [menikah dengan Frederik Calusung Walanda, yang juga telah memperoleh tanda jasa Pahlawan Nasional dan pendiri PIKAT (Persatuan Ibu Kepada Anak Turunannya). Yang ketika pendudukan pasukan Belanda di Wenang, gadis remaja Maria Maramis ini sempat ditangkap dan dipenjarah di Port sekitar Pasar 45, namun kemudian dapat dibebaskan oleh salah seorang mantan Kepala Walak Bantik Wenang Huntu/Runtu (yang bergelar Kahuntu atau Johuntu) dengan menyamar berpakaian sebagai seorang bidan/petugas kesehatan pasien tahanan] → Alexander Andries Maramis atau populer dengan sebutan Mr. A.A. Maramis [merupakan pencetus ide/konsep berdirinya organisasi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan berbagai keterlibatannya di kancah nasional maupun internasional dalam memperjuangkan, mempertahankan, dan membidani lahirnya NKRI, Pancasila, dan UUD 45)].
Menurut keterangan pak Rudy L. Pandean, Maria Walanda Maramis, lahir (01-12-1872) dan meninggal di Desa Paniki Atas, tetapi ketika Bapak C.J. Rantung menjabat Gubernur Sulut, Ibu Rantung memindahkan kuburan Maria Walanda Maramis ke Taman Makam Maumbi (Jln. Raya Manado-Bitung). [Catatan: sebelumnya, terjadi kesalahan klaim/tulisan di mana Maria Walanda Maramis dinyatakan lahir di Kema (Bitung), yang benar adalah bahwa Maria Walanda Maramis lahir dan dimakamkan di Paniki Atas dan bukan di Kema].
Ayah kandung Mr. A.A. Maramis bernama Andries Alexander Maramis (biasa dipanggil Om Inyo berprofesi sebagai pengacara), dengan istri pertama bermarga Ticoalu (juga sebagai keturunan/pewaris DBM), dikaruniai dengan 3 putra-putri bernama Nelly Maramis, Mathelda Maramis, dan Mr. A.A. Maramis (lahir di Buha-Paniki Bawah tertanggal 20 Juni 1897 dan meningggal tertanggal 31 Juli 1977 pagi di RSPAD Gatot Subroto serta dimakamkan secara militer di Taman Pahlawan Kalibata). Setelah istri pertama meninggal, Om Inyo (Andries Alexander Maramis) kawin lagi dengan gadis bernama Adriana Yulia Mogot, dan dikaruniai dengan 8 putra-putri, yaitu Nora Maramis, Konda Maramis, Andries Alexander Maramis (Junior), Lientje Maramis, Lingkan Maramis, Boetje Maramis, Anatje Yulia Maramis, dan Tommy Maramis.
[Catatan: terdapat sekelompok marga Maramis asal Toliang-Tondano yang sebelumnya sempat mengklaim bahwa Mr. A.A. Maramis berasal dari Tondano. Namun hal itu telah diklarifikasi oleh keluarga S.K. Pandean dan putranya Rudy L. Pandean bahwa asal-usul keluarga Maria Walanda Maramis dan Mr. A.A. Maramis berdasarkan peninggalan harta warisan keluarga (seperti rumah dan tanah-tanah peninggalan leluhur dan slag bom/silsilah keluarga yang terarsip dalam keluarga sampai sekarang), dinyatakan berasal dari Paniki Bawah. Yang merupakan pemekaran pemukiman tua tetangganya Desa BUHA yang telah eksis sejak awal tahun 1600-an Masehi. Setelah diperbandingkan dengan timing eksistensi berdasarkan slag bom/silsilah yang dimiliki keluarga/marga Maramis asal Toliang-Tondano (melalui verifikasi dan konfirmasi Penulis pada Bp. Feliks Maramis SE dan Frans Maramis), ternyata data eksistensi keluarga Maramis asal Tondano yang dapat direkonstruksi ke belakang, hanya sejauh tahun 1800-an Masehi. Dengan demikian, dapat ditengarai bahwa eksistensi keluarga Maramis Tondano merupakan migrasi atau diaspora yang berasal dari pemukiman Buha yang notabene dimekarkan dari pemukiman tua leluhur sebelumnya, Singkil].
Pendidikan, Pernikahan, dan Pergerakan Ekstrakurikuler Mahasiswa Maramis
Pada umur 6 tahun masuk pendidikan ELS (Europesche Lagere School) selama 8 tahun di Jln. Kartini dan lulus tahun 1911, dalam usia 14 tahun. ELS merupakan sekolah khusus bagi orang Eropa/Belanda di Negara Koloni, namun warga pribumi Mr. A.A. Maramis dengan berbekal kepemilikan peninggalan opa tuanya Rumondor sebagai Kepala Distrik Bantik Alifuru Terakhir (yang memperoleh penghargaan legasi kolonial Belanda berupa Tongkat Emas dan Payung Emas), dapat diterima di sekolah tersebut.
Tahun 1918 (pada usia 21 tahun), Mr. A.A. Maramis lulus sekolah HBS (Hogere Burger School) Jln. Matraman Raya Jakarta (setingkat SMA-Belanda) bersama 2 (dua) teman sekelasnya: Achmad Subardjo (Jawa) dan Natsir Datuk Pamuntjak (Sumatra). Pertemanan yang sangat akrap ketiganya, sempat populer dengan sebuah symbol keakraban tiga sejoli. Yang kemudian melandasi pembangunan kebhinekaan dalam “nation character building NKRI” melalui rumusan UUD 45 dan Pancasila, setelah mereka bersama-sama menjadi mahasiswa/aktivis Perhimpunan Indonesia di Belanda dan menjadi anggota BPUPKI di kemudian hari.
Sekitar tahun 1919, Tiga Sejoli berangkat ke Negeri Belanda untuk sekolah di Universitas Leyden, di mana Maramis dinyatakan lulus pada bulan Juni 1924 sebagai Ahli Hukum (Mr. Alias Meester in de Rachten) dan kemudian kembali ke Indonesia (Nederlands Indie) pada bulan Juli (1924), dengan usia 27 tahun.
Pada tahun 1923, tiga sejoli bergabung dengan sebuah organisasi pergerakan mahasiswa (di Belanda dan Eropa) yang disebut Perhimpoenan Indonesia (PI) di mana Mr. A. A. Maramis diangkat sebagai Sekretarisnya sampai dengan tahun 1924. Setelah nama awal dari pergerakan mahasiswa tersebut (Indonesische Vereeniging), yang telah eksis sejak tahun 1908 dirubah mejadi PI. Mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam P.I. (pergerakan kemerdekaan mahasiswa Indonesia di Eropa) ketika itu antara lain: Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, Achmad Subardjo, Natsir Datuk Pamuntjak, Iwa Kusuma Sumantri, GSSJ Ratulangi, R.M. Sartono, dan Soenaryo.
Profesor Arnoldus Isac Zakharias Mononutu ketika menjenguk keranda jenaza MR. A.A. Maramis di Jln. Medan Merdeka Timur No. 9 (samping gedung Inspektorat Jenderal Dalam Negeri) Jakarta Pusat, yang juga bersamaan dengan kehadiran Keluarga Presiden RI Soeharto. Menyatakan di hadapan Soeharto (yang didengar langsung oleh Rudy L. Pandean dan para pelayat keluarga Istana Negara) bahwa Prof. Mononutu bergabung dengan organisasi pergerakan mahasiswa di Eropa/Berlanda yang bernama “Perhimpoenan Indonesia”, karena ajakan Mr. A. A. Maramis.
Salah seorang anak angkat Prof. A.I. Z. Mononutu (Sinyo Mononutu) pada presentasi pra-seminar yang digelar IPPHOS di Marina Plaza Manado (tertanggal 04-12-2014), menyatakan Mr. A.A. Maramis sebagai pencetus ide berdirinya sebuah organisasi Pergerakan Kemerdekaan RI yang dikenal dengan nama KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Yang awal perjuangannya (termasuk Wanita KRIS yang dimotori S.K. Pandean) berbasis di Magelang-Wonosobo (Warouw dkk. 1999). Dari tuturan Rudy L. Pandean pada Penulis tertanggal 18/01/2015, latar belakang berdirinya KRIS menurut Mr. A.A. Maramis, mempunyai dua tujuan/kepentingan, yaitu: 1) Untuk menghilangkan persepsi negatif masyarakat Jawa atas eks pejuang asal Indonesia Timur (terutama Manado dan Ambon) karena mereka menggaggapnya sebagai antek/mata-mata musuh Kolonial Belanda dan 2) Sebagai suatu pergerakan revolusi fisik untuk melawan penjajah/kolonialis Belanda.
Sekembali dari Universitas Leyden, Mr. A.A. Maramis menolak tawaran menjadi pegawai Kolonial Belanda dan memilih meniti karier sebagai Pengacara (sebagaimana profesi ayah kandungnya Andries Alexander Maramis) di berbagai daerah (seperti: Semarang, Palembang, Teluk Betung, dan Jakarta) sambil mencari teman-teman seperjuangan/nasionalis eks aktivis PI (Saafroeddin dkk 1995).
Pada Tahun 1928 (dalam usia 31 tahun), menikah dengan seorang janda Elizabeth M.D. Veldhoed di Palembang (yang ayahnya seorang warga Belanda dan ibunya seorang gadis Bali). Dari pernikahan ini tidak dikaruniai keturunan.
Aksi Perjuangan Kemerdekaan RI dan Sejumlah Jabatan Strategis Terkait Mr. A.A. Maramis
1). Menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945: (Referensi: Kartasasmita dkk 1975; Sudirjo 1982; Saafroedin dkk 1995).
a. Anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia 8 & 9.
b. Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau cikal bakal DPR RI.
c. Anggota Perumus UUD 1945.
2). Paska Proklamasi 17 Agustus 1945:
a. Menteri Negara dan Wakil Menteri Keuangan (Kabinet ke-I Presentill, 19/8/1945 s/d 14/9/1945).
b. Menteri Keuangan (Kabinet ke-I Presidentil, sampai dengan 25/9/1945).
c. Tahun 1946: Mr. A.A. Maramis menulis dan mempublikasi sebuah buku dengan judul: “No More Legal Power of the Netherlands in Indonesia”. Yang berisi kajian hukum internasional yang membenarkan landasan perjuangan diplomatik kemerdekaan RI dalam upaya mendapatkan dukungan dan pengakuan negara-negara internasional (terutama Negara-negara Asia seperti: India dan Birma) dan PBB, di samping sebagai pegangan perjuangan P.N. Palar selaku wakil RI di PBB.
Tahun 1946: ketika Mr. A.A. Maramis berada di Jalan Asam Baru, cikal bakal basis/kantor KRIS (sekarang jln. Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat), didatangi seorang pemuda asal Komo Manado berpangkat Stirman III Kapal Belanda KPM (Koningklyke Paketvaart Maatschappy) yang berpusat di Belanda. Pemuda tersebut bernama John Lee yang menyampaikan keinginannya yang mendalam untuk mendukung kemerdekaan R.I dan dapat direkrut sebagai anggota Kesatuan TNI AL. Kemudian Mr. Maramis memberi surat pengantar pada John Lee untuk menghadap Presiden Soekarno di Jogya dan berhasil. Tugas pertama John Lee ketika itu membersihkan semua ranjau Jepang & Belanda di perairan laut Pelabuhan Cilacap sehingga kapal-kapal R.I aman melintas di sana. Yang mana kemudian dijadikan sebuah pangkalan Mabes TNI-AL terbesar yang ketika itu dekat dengan pusat pemerintahan R.I di Jogya
[CATATAN: Mr. A. A. Maramis ketika menjabat sebagai Menteri Keuangan RI, dalam upaya merekrut Devisa Negara sebagai sumber dana pembangunan NKRI dan pengadaan persenjataan/sarana tempur, sering menugaskan John Lee dengan kapal lautnya untuk membawa hasil bumi Nusantara (seperti: Karet, Gula Pasir, Beras, Kapas, Emas, dan Candu) melalui pelayaran laut ke Singapura untuk dijual dan dibeli/dibarter dengan senjata kepada pedagang di sana. Karena sejumlah keberhasilan John Lee menjalankan misi penuh resiko (tidak sekali pun ketangkap), dengan dapat menembus route pelayaran laut yang diblokade dan diawasi pasukan musuh, pihak Kolonial Belanda memberi julukan John Lee sebagai “Nakhoda Kapal Hantu”. Pada tahun 2009, salah seorang putra Manado, Laksamana Muda TNI AL (Purn) John Lee telah dianugrahi gelar Pahlawan Nasioanl].
e. Menteri Keuangan (Kabinet A. Sjarifudin I, dari 3/7/1947 s/d 11/11/1947).
f. Menteri Keuangan (Kabinet A. Sjarifudin II, dari 11/11/1947 s/d 29/01/1948).
g. Menteri Keuangan (Kabinet Presidentil Moh. Hatta I, 29/01/1948 s/d 04/08/1949).
3) Saat Agresi Militer Belanda Ke-II (dari Desember 1948 s/d 09/05/1950):
a. Lanjut dengan Kabinet Presidentil Mohammad Hatta I sebagai Menteri Keuangan.
b. Sebagai Menteri Negara, Mr. A.A. Maramis bertempat di Hotel Merdeka menggelar pertemuan dengan sebanyak 30-an delegasi perutusan NIT (Negara Indonesia Timur) yang dipimpin DR. Sam Ratulangi dan Lanto Daeng Pasewang (Sudirjo 1982). NIT yang awalnya dibentuk Kolonial Belanda (sebagai upaya pecah belah NKRI di wilayah Indonesia Timur) akhirnya dapat dirangkul dan diarahkan Mr. Maramis untuk bergabung dan mendukung sepenuhnya perjuangan NKRI.
c. Memimpin Delegasi RI ke Konferensi Asia di New Dehli, India; 14/12/1948.d. Melalui Radio Gram Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta berdasarkan keputusan Rapat Kabinet RI, menginstruksikan Mr. A. A. Maramis (yang ketika itu sedang berada di New Dehli) untuk mendirikan Pemerintahan RI Dalam Pengasingan Luar Negeri (in exile), dengan basis Negara India, sejak tanggal 19 Desember 1948.
[CATATAN: sesuai keterangan Mr. A.A. Maramis pada Pandean (2014), walaupun hanya dalam waktu seminggu, ia telah jalankan isnstruksi tersebut, terutama dalam mempersiapkan pelaksanaan Konferensi Asia. Yang sangat berhasil dilangsungkan dari 20 s/d 23 Januari 1949 dan lahirnya Keputusan/Maklumat Dewan Keamanan PBB 28 Januari 1949, sebab ia tidak menghendaki terjadinya kevakuman pemerintahan RI di samping juga putusnya komunikasi dengan rekan sekabinetnya Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara dari Sumatra].
e. Diangkat Sebagai Menteri Luar Negeri PDRI (Pemerintah Darurat RI) oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin PDRI dengan basis Sumatra, terhitung sejak 24/12/1948 s/d 13/07/1949. Sjafruddin sebagai pemimpin PDRI yang juga berdasarkan Keputusan Sidang Kabinet RI Yogya tertanggal 19 Desember 1948 pagi, ketika Mr. Sjafruddin sebagai Menteri Kemakmuran RI sedang berada di daerah Sumatra. Momen beberapa saat sebelum Pasukan Militer Agresi Belanda Ke-II Menggempur Pusat Pemerintahan RI Jogya dan menangkap Presiden Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta bersama para cabinet yang ada.
f. Ditetapkan Sebagai DUBES ISTIMEWA berkuasa penuh untuk mengawas semua perwakilan RI di Luar Negeri, dari 01/08/1949 s/d 24/01/1950. Diangkat Sebagai Penasihat Delegasi RI ke Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag Tertanggal 01 September 1949 (SK Wapres RI No. 1/W.P/ISTM tertanggal 24/08/1949).
h. Diangkat Sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh RIS di Filippina, dari 25/01/1950 s/d 08/05/1950 (SK Presiden RIS No. 39 tahun 1950). Ditetapkan sebagai Anggota Makahmah Arbritrase Internasional Basis Belanda, Sesuai Keputusan KMB, dari 09/05/1950 s/d tahun 1951 (SK Presiden RIS No. 173 tahun 1950).
4). Pasca-Pengakuan Kedaulatan NKRI oleh Kolonial Belanda (dari tahun 1953 s/d 1960):
a. Ditugaskan Sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh RI di Jerman Barat, dari 10/04/1953 s/d 27/06/1956 (SKEP Presiden RI Nomor: 56/M tahun 1953).
b. Ditetapkan Sebagai Kepala Direktorat Asia Pasifik Departemen Luar Negeri RI, dari 28/06/1956 s/d 09/06/1958 (SKEP Menlu RI No: SP/351/PD/56).
c. Ditugaskan Sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh RI di Moskow, dari 15/10/1956 s/d 10/06/1958 (SKEP Menlu RI Nomor: SP/669/Djg/56) dan SKEP Presiden RI No. 570/M tertanggal 10 Oktober 1958 yang memperpanjang jabatannya s/d tahun 1960, di samping merangkap Jabatan sebagai Duta Besar RI Untuk Negara Finlandia).
5). Paska Mr. A.A. Maramis Pensiun Pada Tahun 1960:
Anggota Panitia 5 Tafsir Pancasila sebagaimana Termaktub Dalam Pembukaan UUD 1945 yang dikonsep dan ditandatangani oleh: Moh. Hatta (Ketua), Subardjo (anggota), Sunaryo (anggota), Pringgodigdo (anggota), dan Mr. A.A, Maramis (anggota). Suatu Panitia yang dibentuk Presiden Soeharto tertanggal 18 Maret 1975.
Bintang Tanda Penghargaan RI Mr. A.A. Maramis
Dari buku Risalah Sidang BPUPKI/PPKI tertanggal 28 Mei s/d 22 Agustus 1945 (Saafroedin dkk 1995), diperoleh sejumlah dokumen/arsip Negara RI yang mengklaim sejumlah Tanda Penghargaan RI atas nama seorang Bapak Bangsa Mr. A. A. Maramis sbb:
1). Bintang Mahaputra Utama (Skep. No. 15/2/1961).
2). Setia Lencana Perjuangan Kemerdekaan (Skep. 228/1961).
3). Bintang Gerilya (Kepres No. 200960 tertanggal 5 Oktober 1963).
4). Penghargaan Pergerakan Nasional (Skep. No. 012/1969).
5). Penghargaan Perintis Kemerdekaan (Skep. Pol. 8/1/77/PK).
6). Bintang RI Utama (Kepres No. 046/TK-1992 tertanggal 12 Agustus 1992).
7). Penghargaan Rekor MURI Dunia Abadi Menteri Keuangan, dari Kementrian Keuangan R.I., DR. Sri Mulyani Indrawati.
Makna Kejuangan dan Kepeloporan Mr. A.A. MARAMIS Bagi Generasi Sekarang
Dengan masifnya peran dan keterlibatan Mr. A.A. Maramis dalam sejarah pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia, sejak masih menjadi mahasiswa internasional Indonesia di Universitas Leyden Belanda dan ditandai dengan masifnya tugas dan tanggung-jawab yang diemban menjelang, semasa, dan sesudah kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, serta segudang penghargaan gelar tanda jasa (rewards) bintang lencana yang dianugrahi Pemerintah Pusat NKRI, dapat dikatakan bahwa Mr. A.A. Maramis adalah seorang tokoh sentral Republik Indonesia asal Sulut yang tidak ada bandingannya. Bahkan peranannya sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), pencetus ide berdirinya KRIS (Maramis 1946; Warouw dkk. 1999) dan aktivis pergerakan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Berikut ini adalah tulisan tangan teks pidato/sambutan singkat Mr. A.A. Maramis (1946) pada pelantikan/pengukuhan Badan Wanita KRIS Pusat (organisasi sayap KRIS Pusat) adalah sbb:
Salam dan Bahagia!
Pembentoekan bagian wanita dalam perhimpoenan KRIS, saya menyamboetnya dengan sangat gembira. Boekankah dari dahoeloe kala, kaoem wanita joega satoe-satoenya dapat merasa serta mengoekoer sedalam-dalamnya kesengsaraan, keperloean, dan pentingnya kawanoea-kawanoea yang miskin dan terlantar, yang berdiam di loear tanah air kita (Minahasa)?
Pada saat yang genting ini dalam sedjarah Indonesia, dalam mana akan ditentoekan nasib rakyat kita oentoek masa depan ratoesan tahoen yang akan datang. Seloeroeh rakyat haroes mengoempoel dan mengkoordinir tenaga seefektif-efektifnya!
Saya mengoetjap syoekoer bahwa wanita-wanita sekarang telah insaf akan panggilan zaman itoe, dan tak soedi tinggal diam, karena pemoeda-pemoeda dan pemoedi kita menoelis sedjarah bangsa dan tanah air dengan darahnya!
Moga-moga Toehan Yang Mahakoeasa itoe, memberkati oesaha yang moelia itoe, dari bagian Wanita KRIS! Merdeka!
Djakarta , 8 Djuli 1946.
TTD
Mr. A.A. Maramis
Pembentoekan bagian wanita dalam perhimpoenan KRIS, saya menyamboetnya dengan sangat gembira. Boekankah dari dahoeloe kala, kaoem wanita joega satoe-satoenya dapat merasa serta mengoekoer sedalam-dalamnya kesengsaraan, keperloean, dan pentingnya kawanoea-kawanoea yang miskin dan terlantar, yang berdiam di loear tanah air kita (Minahasa)?
Pada saat yang genting ini dalam sedjarah Indonesia, dalam mana akan ditentoekan nasib rakyat kita oentoek masa depan ratoesan tahoen yang akan datang. Seloeroeh rakyat haroes mengoempoel dan mengkoordinir tenaga seefektif-efektifnya!
Saya mengoetjap syoekoer bahwa wanita-wanita sekarang telah insaf akan panggilan zaman itoe, dan tak soedi tinggal diam, karena pemoeda-pemoeda dan pemoedi kita menoelis sedjarah bangsa dan tanah air dengan darahnya!
Moga-moga Toehan Yang Mahakoeasa itoe, memberkati oesaha yang moelia itoe, dari bagian Wanita KRIS! Merdeka!
Djakarta , 8 Djuli 1946.
TTD
Mr. A.A. Maramis
Bahwa sejumlah dokumen resmi/arsip Negara menyatakan bahwa sejak berdirinya Republik Indonesia, Mr. A. A. Maramis terbukti sebagai sosok pemimpin nasional yang jujur, berintegritas, dan hidup sangat bersahaja/sederhana serta bersih dari prilaku KKN. Hal itu terbukti dengan banyaknya kepercayaan yang diberi Presiden dan Wakil Presiden R.I Pertama untuk menjabat Menteri Keuangan RI dalam 5 periode pergantian Pimpinan Kabinet R.I yang berbeda. Bahkan Mr. A.A. Maramis adalah orang Indonesia pertama yang menanda-tangani penerbitan “Oeang Republik Indonesia” (ORI) pada 17 Oktober 1945 sebagai alat bayar yang sah NKRI yang kemudian diedarkan sejak 30 Oktober 1946 (tanggal yang ditetapkan sebagai hari Keuangan RI) untuk mengganti penggunaan alat bayar uang kolonialis Belanda dan Jepang. Uang pertama RI ini terdiri dari 4 (empat) satuan/nominal pecahan yaitu: Seratus Rupiah, Sepuluh Rupiah, Sepuluh Sen, dan Satu Sen (contoh terlampir).
Olehnya, Menteri Keuangan RI Dr. Sri Mulyani Indrawati pada Selasa 30 Oktober 2007 bertempat di Ruang Graha Sawala Lantai I, Gedung Utama Depkeu Jln. Lapangan Banteng Timur No. 2-4, Jakarta Pusat, melangsungkan suatu Upacara Penganugrahan Piagam Penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia) yang diterima Pandean (keluarga Maramis) sebagai suatu bentuk penghargaan atas prestasi Mr. Maramis yang didapuk oleh Ketua MURI (Jaya Suprana) sebagai “tokoh legendaris” bangsa. Berdasarkan klaim sambutan Suprana, rekor MURI yang diraih Maramis adalah suatu “Rekor Dunia Abadi”, karena merupakan satu-satunya Menteri Keuangan RI yang menanda-tangani 15 (lima belas) mata uang kertas dengan pecahan yang berbeda-beda selama periode 1945 s/d 1947. Di mana rekor ini tidak dapat dipecahkan oleh manusia lain manapun di dunia (Anonimous 2007). Dalam sambutannya, Menkeu DR. Indrawati atas nama Lembaga Pemerintah yang dipimpinnya menyampaikan terima kasih atas keteladanan dan ketokohan Mr. Maramis sebagai sumber inspirasi generasi penerus bagi pengembangan Lembaga yang dipimpinnya. Hal ini merupakan wujud nyata dari falsafah hidup Mr. A.A. Maramis yang terkenal, yaitu jika manusia lahir dalam keadaan telanjang…, maka ia harus mati pula dalam keadaan telanjang (bahasa jawanya yang dikalimatkan oleh harian Berita Yudha Jakarta: “sepi ing pamrih…, rame ing gawe”), yang artinya berbaktilah pada Nusa dan Bangsa secara tulus dan ikhlas dengan tanpa mengharapkan apa-apa.
Sebagai wujud dari paham revolusi mental-spiritual bagi aparatur pemimpin bangsa yang sedang digali dan dihidupkan kembali oleh Presiden Jokowi sekarang. Di mana nilai-nilai luhur dan falsafah kejuangan dan kepeloporan Mr. A.A. Maramis sebagai Bapak Bangsa/Negara Pendiri NKRI patut diketahui, diresapi, diteladani, dan dilestarikan oleh semua komponen generasi penerus anak negeri yang sedang mengemban tugas dan tanggung-jawab kehidupan: berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sekarang. Melalui suatu simbolik perjuangan kongkrit KPK dan Presiden RI Jokowi didalam menegakkan suatu pemerintahan dan aparatur sipil NKRI yang berwibawa dan bersih dari penyelewengan dan penyimpangan jabatan dan kekuasaan, Mr. Maramis dinilai sangat layak untuk dianugrahi oleh Pemerintah Pusat dengan gelar “Bapak Keuangan RI”.
Menurut Rudy L. Pandean, jauh-jauh hari sebelum proklamasi Kemerdekaan RI (ketika Mr. Maramis kembali dari penyelesaian studinya di Universitas Leyden), sebagai suatu bentuk kamuflage perjuangan, antara lain Mr. A.A. Maramis, DR. Sam Ratulangi, dan Maengkom membentuk suatu perhimpunan olahraga bernama “Klub Maesa”, dengan markas Pejambon Jakarta Pusat (sekarang berposisi di belakang kompleks Gereja GPIB Imanuel). Dengan misi terselubung organisasi olahraga tersebut, secara bersama, Mr. A.A. Maramis dan DR. Sam Ratulangi merintis/mendatangi masyarakat Manado/Minahasa dalam rangka kampanye melepas cengkraman misi kepentingan kolonialis melalui organisasi gereja bentukan Belanda yakni: Indische Kerk (Mokoagouw 2003). Di mana kemudian menjadi pemicu berdirinya sebuah organisasi gereja Kristen yang besar di Tanah Malesung, yang sekarang dikenal dengan KGPM (Kerapatan Gereja Protestan Minahasa).
Bahkan peranannya sebagai pemimpin Bangsa Indonesia, ketika pemerintahan negara dalam keadaan darurat pengasingan di luar negeri (Negara India) dalam menghadapi Agresi Militer Belanda Ke-2, dengan mengarsiteki pelaksanaan Konferensi Asia New Dehli 20 s/d 23 Januari 1949 dan melahirkan Keputusan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949 yang mendukung Kemerdekaan dan Kedaulatan RI, merupakan suatu prestasi diplomatik Mr. A. A. Maramis yang tidak ada duanya. Hal itu tercermin melalui pernyataan pihak Penguasa Belanda (Menlu) sendiri sbb: “Mr. A.A. Maramis vertoond zich een daaddrachtige minister van buitenlandse zaaken in New Dehli”. Yang artinya: “Tuan Maramis adalah seorang Diplomat Luar Negeri yang gigih, tegas, dan handal di New Dehli.”(Pandean 2014).
Empat poin rekomendasi Konferensi Asia New Dehli, yang kemudian melahirkan 5 (lima) butir Keputusan Resolusi DK-PBB, yaitu: 1) Belanda harus segera menghentikan operasi militernya dan RI menghentikan perang gerilyanya serta kedua belah pihak diminta kerjasama dalam memulihkan perdamaian, 2) Belanda dengan segera dan tanpa syarat harus melepaskan semua tahanan politik terkait Agresi Militer ke-2 (Catatan: dengan sendirinya, pelaksanaan eksekusi tembak mati R.W. Mongisidi tertanggal 5 September 1949 di Makasar adalah merupakan suatu perbuatan kriminalisasi kejahatan perang Kolonialis Belanda yang patut mendapat class action pihak keluarga), 3) Belanda harus segera memfasilitasi pemulangan para pemimpin RI ke Yogyakarta agar poin satu di atas, dapat terlaksana dan agar mereka segera dapat bertugas secara bebas, termasuk administrasi Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah-daerah RI yang dinyatakan dalam Perjanjian Renville segera diserahkan kembali, 4) Perundingan sesegera mungkin dilakukan dengan prinsip Perjanjian Linggar Jati dan Renville serta khususnya atas dasar Pemerintah Interim Federal dapat berdiri selambat-lambatnya 15 Maret 1949, dan bahwa pemilihan Dewan Konstitusi RIS hendaknya terlaksana selambat-lambatnya 1 Juli 1949, dan 5) Komisi jasa baik 3 (tiga) Negara (USA, Australia, dan Belgia), selanjutnya akan disebut Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI), dengan tugas memfasilitasi para pihak dalam perundingan demi menjamin pengembalian Republik dan memantau pelaksanaan PEMILU, serta UNCI berhak memberi rekomendasi untuk mempercepat penyelesaian permasalahan yang ada.
Bahwa Mr. A. A. Maramis sebagai tokoh sentral kepeloporan memperjuangkan kesatuan dan persatuan NKRI berdasarkan kebhinekaan, toleransi, dan perbedaan kemajemukan: Ras, Suku, Agama, dan Daerah sangat nyata dan ekselen. Sehingga Majalah GATRA (edisi khusus hari kemerdekaan terbit 16 s/d 29 Agustus 2012) mendapuk Mr. A.A. Maramis sebagai “Tokoh Lintas Agama Perumus Indonesia”. Saafroedin dkk (1995) juga menyatakan peran luar biasa Mr. A.A. Maramis dalam kapasitas mewakili kaum agama minoritas, warga keturunan, dan perwakilan daerah Kalimantan serta Indonesia Timur lainnya dalam perumusan UUD 45 yang memperjuangkan kemajemukan & HAM dalam rumusan Pancasila bahkan mendesak sidang BPUPKI untuk memberi kewarganegaraan Indonesia bagi warga keturunan seperti: Tionghoa, Arab, Indobelanda yang telah lahir di Indonesia.
Bahkan keterlibatan Mr. A.A. Maramis dalam menanda-tangani konsep Piagam Jakarta (ternyata hanya sekedar menghormati Ir. Soekarno yang memimpin Panitia Kecil yang keburu harus mempresentasikan kerja Panitia dalam sidang pleno BPUPKI) dalam Preambul Rancangan UUD tertanggal 22/06/1945, yang akhir-akhir ini memunculkan suatu kesalahan tafsir dan kekeliruan pengertian bagi kelompok tertentu, termasuk kelompok minoritas umat Nasrani. Hal itu terungkap melalui pernyataan Ir. Soekarno sendiri perihal bahasan konsep Piagam Jakarta yang masih bermasalah dan belum final (bahkan Soekarno sendiri sempat berucap “dua kali menangis” selama memimpin pembahasan alot panitia kecil yang diembannya), yang diutarakannya melalui sidang pleno BPUPKI (Saafroedin dkk. 1995). Sedangkan di sisi lain, sikap dan upaya Mr. Maramis bersama Latuharhari (salah seorang anggota PPKI) tidak patah arang, sebelum tiba pada agenda pembacaan/pengesahan UUD 45 yang akhirnya jatuh pada 18/08/1945. Di mana Mr. Maramis meminta Dr. Sam Ratulangi (salah seorang anggota PPKI) untuk mengatasinya dengan menghubungi dan meminta bantuan Laksamana Muda Tadashi Maeda (yang pro-Indonesia) di Jln. Imam Bonjol No. 1.
Kemudian Laksamana Maeda pada 17/08/1945 petang mengutus ajudannya bernama Nisjijima untuk menemui Mohammad Hatta dengan pesan mewakili “golongan minoritas” yang tidak setujuh “untuk memberi hak istimewa bagi golongan majoritas dalam NKRI yang prulalis”. Setelah Mohamad Hatta berembuk dengan beberapa tokoh Muslim (mayoritas anggota PPKI) seperti: Haji Teuku Moehammad Hasan (dari Ace), Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, dan Mr. Kasman Singodimedjo), kemudian disepakati untuk mencoret 8 (delapan) kata dalam Mukadimah Rancangan UUD 45. Sebab berdasarkan pernyataan Mohammad Hatta, apabila delapan kata (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dari konsep Piagam Jakarta yang telah dimasukkan dalam Mukadimah UUD 45 tidak dicoret/dihilangkan, maka kelompok Indonesia Timur tidak akan bergabung atau menarik diri dari NKRI setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, yang kemudian jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam kurun waktu yang serba mendesak, kedelapan kata yang dicoret tersebut selanjutnya disepakati (setelah dikonsultasikan dan mendapat persetujuan Bung Karno) diganti dengan dua kata “Yang Mahaesa”, sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Kalau kelompok fundamentalis tertentu mengklaim bahwa opsir/ajudan utusan Tadashi Maeda untuk menemui Moh. Hatta tersebut adalah Sam Ratulangi, itu tidak benar. Yang benar adalah bahwa opsir/utusan tersebut bernama Nisjijima. Sedangkan DR. Sam Ratulangi dalam kapasitasnya sebagai anggota PPKI merupakan utusan Mr. A.A. Maramis (salah seorang konseptor BPUPKI) untuk menghadap dan meminta bantuan Laksamana Muda AL Jepang Maeda, demikian tuturan Mr. A.A. Maramis pada kemenakannya Rudy Pandean yang dijelaskan pada Penulis tertanggal 19 Januari 2015.
Ketika Mr. A. A. Maramis mengemban tugas sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh di Negara Russia pada tahun 1958, terdapat sebuah kisah/ceritra keluarga yang menunjukkan jatidiri Maramis sebagai sosok pemimpin nasional yang: bersih, anti-konsumerisme, anti-KKN, dan menjalani pola hidup sederhana/hemat. Yang sangat sejalan dengan kebijakan Pemerintahan Jokowi sekarang yang melarang para aparatur/pejabat Negara untuk menggelar rapat-rapat di hotel. Waktu itu Mr. A.A. Maramis mendampingi Presiden Russia Worosilov untuk berkunjung ke Indonesia, dalam rangka mewujudkan gagasan bersama Presiden Ir. Soekarno untuk membangun sebuah pusat olahraga dengan mengusung tema “games of the new emerging forces”=Ganefo (dalam upaya mengimbangi/mengkonter misi politik “Blok-Barat” melalui pembentukan suatu wahana perhimpunan olahraga Negara-Negara Barat yang kita kenal dengan “Olimpiade” karena adanya ekses lepasnya Indonesia dari PBB di bawah kepemimpinan Presiden Seokarno). Di mana kelahiran Ganefo ini berimbas pada dibangunnya sebuah Gelanggang Olahraga yang sekarang dikenal dengan kompleks BP Gelora Bung Karno dan Istora Senayan. Yang awal biaya pembangunannya didanai Presiden Worosilov bersama sekutu-sekutunya seperti Negara Rumania dan Negara Polandia, sebagaimana tuturan Mr. A.A. Maramis pada keponakannya Rudy L. Pandean.
Dalam kunjungan diplomat/kenegaraan tersebut, Presiden Worosilov menginap di Istana Negara, sedangkan rombongan menteri Worosilov termasuk Mr. A.A. Maramis telah disiapkan oleh pihak DEPLU RI suatu tempat nginap/tinggal di Hotel Des Andes jln. Gajamada No. 2 (sekarang menjadi areal bangunan elite ROKU DUTA MERLIN). Namun faktanya, saat itu Mr. Maramis tidak memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah RI tersebut, dan memilih untuk tinggal/tidur bersama keluarganya di Jln. Medan Merdeka Timur No. 9 (samping kiri gedung Inspektorat Jenderal Dalam Negeri menghadap ke Stasion Gambir) Jakarta Pusat. Lantas kakaknya Mathelda Maramis (setelah diberitahu hal itu), dengan nada protes berkata dengan logat Melayu-Manado pada adiknya Mr. A.A. Maramis: “Minta jo doi sewah hotel mewah itu kong kase pa torang, itu kan ngana pe hak”. Tapi hanya diresponinya dengan nada kata-kata tinggi: “Ndak boleh itu, bangsa Indonesia masih susah!”
Itulah figur kesederhanaan/anti-konsumerisme, ketegasan, ketulusan hati, dan keiklasan perjuangan seorang Bapak Bangsa asal Sulut yang patut diketahui, dicontohi, dan diteladani oleh para aparatur/pejabat sipil generasi penerus bangsa Indonesia sekarang.
Penutup
Sejumlah ulasan yang bersumber dari berbagai referensi dan arsip resmi negara yang kredibel, tidak dapat disangkal, bahwa seluruh nama-nama tokoh pejuang kemerdekaan RI asal Sulawesi Utara, yang sampai sejauh ini telah terima penghargaan tanda jasa sebagai Pahlawan Nasional (seperti a.l: Robert Wolter Mongisidi, GSSJ Ratulangi, John Lee, dan P.N. Palar), dapat disimpulkan bahwa: jasa, peran, tanggung-jawab, nilai kejuangan, dan skop/bobot perjuangan atas nama Mr. A. A. Maramis, ternyata tidak ada bandingannya (walaupun masing-masing mereka telah berjuang sesuai dengan tugas kesatuan, panggilan hati nurani, dan garis tangan yang berbeda-beda).
Hal itu terbukti melalui penobatan Mr. Maramis sebagai satu-satunya putra terbaik asal Sulut yang menerima Tanda Penghargaan RI sebagai the founding father NKRI (Bapak Bangsa), Bintang RI Utama, penyandang Rekor MURI Abadi Dunia Menteri Keuangan, dan segudang prestasi di bidang Sosial Ekonomi, Perbankan, Penerbangan GIA, Hukum, dan HAM lainnya. Juga, tidak keliru pernyataan DR. Anhar Gonggong yang mempertanyakan Gubernur Sulut DR. Sarundajang ketika mewakili keluarga P.N Palar dengan ungkapan: “Anak buah kok telah terima, mengapa komandannya belum?” Artinya, kalau pejuang P.N. Palar dan pejuang John Lee dapat dianalogi sebagai “anak buah Mr. A.A. Maramis”, maka secara harafiah, komandannya akan sangat pantas untuk diprioritas Gubernur Sulut menerima sebuah tanda jasa penghargaan yang sama (sebagai Pahlawan Nasional) dari Presiden RI Jokowi. Namun di sisi lain, kami keluarga besar Maramis Sulut, juga akan tempu jalur pengusungan melalui Gubernur DKI Jakarta apabila Gubernur Sulawesi Utara (yang telah Panitia dan keluarga Maramis dan Prof. Arnosdus Mononutu temui sebelumnya) kurang antisipatif atau telah memprioritas nama yang lain. Sehingga pada tahun 2015, setidaknya bisa diusung dua nama pejuang asal Sulut untuk dapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Penulis menilai dan mengusulkan sekiranya Mr. A.A. Maramis dapat dinobatkan sebagai Bapak Keuangan RI dan Simbolik Kebhinekaan dan Pluralis Bangsa Indonesia atau Benteng Pancasila melalui suatu kajian para pakar agama, budaya, sejarah, dan ekonom serta melalui pertimbangan kebijakan dan keputusan Bapak Presiden RI Jokowi.
Paham Revolusi Mental Aparatur Sipil Penyelenggara Negara yang digali dan dihidupkan kembali melalui sepak-terjang sosok kepemimpinan Presiden Jokowi yang: bersih, jujur, anti-konsumerisme/pola hidup bersahaja dan anti-KKN, sangat mengakar dengan falsafah hidup Mr. A.A. Maramis yang dikenal dengan semboyan “sepi ing pamrih…, rame ing gawe” (artinya: mengapdilah pada Nusa & Bangsa dengan tidak mengharapkan apa apa) merupakan suatu bukti nyata totalitas pengabdian tanpa pamrih kehidupan seorang Bapak Bangsa yang berkesempatan mengemban tugas sebagai Menteri Keuangan R.I dalam Lima Periode Pergantian Kabinet RI. Olehnya, melalui kesempatan yang berbahagia ini, juga diusulkan sekiranya Mr. A. A. Maramis dapat diberi suatu penganugrahan tanda jasa “Bintang Mahaputra Adipradana” dari Presiden RI Jokowi, sebagaimana halnya rekan seperjuangannya sebagai anggota BPUPKI dan pendiri Partai Arab Indonesia, yang Penulis sebut dengan hormat Bapak Abdul Rahman Baswedan.
Penulis menilai bahwa bobot dan manfaat hasil Konferensi Asia New Dehli (Kandi) yang memberi suatu nafas kelangsungan hidup dan kedaulatan NKRI yang digagas, dikonsep, diperjuangkan, dan dimotori ke-2 (dua) putra Kawanua Mr. A.A. Maramis dan P.N. Palar tidak sebanding dengan hasil Konferensi Asia Afrika (KAA). Artinya, tanpa adanya Konferensi Asia New Dehli (Kandi), kemungkinan besar NKRI tidak eksis dan tidak berdaulat serta tidak berkembang sebagaimana sekarang. Sedangkan tanpa KAA sekalipun, eksistensi dan kedaulatan NKRI masih tetap eksis, berdaulat, dan berkembang. Yang menjadi pertanyaan Penulis adalah kapan atau pernahkah Pemerintah Pusat RI (khususnya instansi Kemenlu dan Kemendagri) memikirkan dan menggagas suatu agenda tahunan untuk menggali, melestarikan, dan memasyarakatkan nilai-nilai perjuangan Kandi bagi generasi muda/penerus bangsa dan negara sebagaimana halnya keberadaan agenda dan pendanaan secara regular oleh Pemerintah Pusat yang terkait dengan kegiatan-kegiatan peringatan KAA sekarang?
Untuk itu, Penulis usulkan (melalui seminar ini) kepada pejabat Gubernur yang akan datang dan Pimpinan/Anggota DPRD sekarang untuk dapat menganggarkan dan menetapkan dana/anggaran pelaksanaan suatu Seminar Kandi Bertaraf Internasinal di Jakarta dan atau di Manado serta menyiapkan dana pembangunan Suatu Museum Pahlawan Putra-Putri Kawanua Asal Sulut dan pembangunan Gedung/Fasilitas Kandi di DKI Jakarta atau di Manado, sebagai sebuah sarana pendidikan dan pelestarian nilai-nilai kepeloporan dan perjuangan ke-2 Putra Sulut tersebut. Dalam mengenang legasi dan nilai-nilai sejarah dan budaya peran-serta/partisipasi besar Masyarakat Sulawesi Utara dalam memperjuangkan dan mengisi cita-cita kemederkaan serta kedaulatan NKRI.***
Referensi:
Anonimous. 2007. A.A. Maramis Raih Rekor Dunia Abadi. Berita Halaman Depan Harian Manado Post, terbit Rabu 31 Oktober 2007, Dalam Rangka Penganugrahan Rekor MURI oleh Departemen Keuangan RI Jakarta.
Anonimous. 2013. Bintang Mahaputra Adipradana Untuk Tokoh Pejuang A.R. Baswedan. Majalah NABIL Forum, Edisi VII: hal. 10-11.
Andayani, R.A. Esti. 2006. Surat Konfirmasi Sejarah Tentang Penugasan Mr. A.A. Maramis Untuk Mendirikan Pemerintah R.I di Pengasingan Oleh Wapres Moh. Hatta. Surat Nomor: 371/OT/VIII/54 Tertanggal 23 Agustus 2006, Dir. Informasi dan Diplomasi Publik, Deplu RI.
Kartasasmita Ginandjar, A. Prabowo, B. Kesowo, S. Tanu, W. Martoredjo, R. Supardi, Soegiarto, M. Hadidjanto, Soedarto, and A.C. Kale. 1975. 30 Years of Indonesia Independence: 1945-1949. The State Secretary of The Republic of Indonesia, 257 pp.
Mokoagouw, R. Dolfie dkk. 2003. Sejarah Kerapatan Gereja Protestan Minahasa: 1933-1982. Panitia Penyusun Buku Sejarah KGPM, Manado, 99 halaman.
Mr. A. A. Maramis. 1946. Teks Asli/Pidato Mr. A. A. Maramis Sebagai Pencetus Ide Berdirinya KRIS Yang Ketika Itu Menjabat Sebagai Menteri Keuangan R.I Pada Pembentukan/Pengukuhan Badan Wanita KRIS Sebagai Ormas Sayap KRIS, Bertempat di Jalan Lembang No. 17 Jakarta (Sekarang Berlokasi Sekitar Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta), Tertanggal 8 Juli 1946.
Pandean, R.L. 2014. Maramis for National Hero. Forum Komunikasi Putra-Putri Perintis Kemerdekaan Indonesia Sulawesi Utara, Booklet, Manado, 20 halaman.
Paputungan Jako. 2015. Legasi Darah Biru Mandagi Sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Konseptor NKRI. Colom Opini Harian Komentar, Manado, Terbit berseri dari 06/01 s/d 09/01/2015.
Saafroedin Bahar, A. B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (Tim Penyunting). 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei s/d 22 Agustus1945. Cetakan Kedua, Edisi III, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 650 halaman.
Sudirjo Radik Utoyo. 1982. Album Perang Kemerdekaan 1945-1950. Badan Penerbit ALDA bersama Dewan Harian Nasional Angkatan 45, Jakarta, halaman 11.
Warouw, Jozef A., R. Palandeng, H. Kawilarang, A.S. Suseno, dan Sumantri. 1999. KRIS 45 Berjuang Membela Negara. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 339 halaman.
(Penulis adalah Pakar Sejarah, Budaya, Linguistik, Etnolog Sulut; Ketua/Pendiri ORMAS Presiden Jokowi-KPK Pusat Sulut; Ketua PPWI/Pembina MAPIKOR/IPJI/GERHANA Sulut; dan Ketua Presidium Forum Komunitas Seni Budaya Sulut)
Editor: Rahadih Gedoan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar