Jumat, 07 Oktober 2011

Jalan-jalan Sunyi | Naskah Drama yang Dimainkan 7 Orang

Jalan-jalan Sunyi
Naskah drama atau teater ini berjudul JALAN-JALAN SUNYI, merupakan naskah drama/teater rohani yang dimainkan oleh 7 orang atau lebih. Naskah ini ditulis oleh IE HADI G dan merupakan naskah yang secara sengaja disediakan cuma-cuma demi memenuhi kebutuhan naskah yang sangat tinggi mengingat tingkat pertunjukan drama/teater rohani semakin intens dilakukan.

Karakter:
Orang I
Orang II
Orang III
Orang IV
Orang V
Orang VI
Alkemis
Batsyeba
Magdalena
Pilatus
Barnabas


PLAY:

Sebuah tempat. Beberapa orang dalam diam. Ada yang memikul dan memegang wadah, juga ada yang memanggul potongan bambu. Bulan merah kala itu.

Alkemis :
[masuk memegang obor]
“Siapa yang selalu melewati jalan sunyi? Jalan di mana roh manusia masih senantiasa dihinggapi oleh Roh Keabadian dan lalu saling menyapa”.
[mendekati Orang I]
“Apa yang ada di tanganmu?”

Orang I :
“Debu. Hanya debu dari dosa peradaban”

Alkemis :
[mendekati Orang II]
“Apa yang ada pada kepalamu?”

Orang II :
“Darah. Hanya darah dari pertikaian bumi”

Alkemis :
[mendekati orang memanggul potongan bambu]

Orang VI :
“Ini adalah sekedar gulungan kisah. Kisah dari masa yang jauh dan telah berlalu. Kisah yang hanya untuk bercermin bila kita ingin bercermin”.

Alkemis :
“Dosa peradaban. Darah pertikaian. Dan potongan kisah. Kepada siapa harus kalian berikan?”

Orang III :
“Kepada waktu. Kepada waktu yang bergerak serta terus meringsek menuju pada penghabisannya. Dunia telah penuh penderitaan dan penyesatan. Namun tak ada yang mau meluruskannya”.

Alkemis :
“Penderitaan dan penyesatan. Yang bisa meluruskannya hanya diri sendiri. Menempuh jalan yang menghidupkan nafas roh kita”.
[menabuh tabuhan]

Orang II :
“Tentang apakah dentum-dentum itu?”

Orang V :
“Hanya tentang kisah bulan!”

Orang II :
“Atau tentang daun-daun resah?”

Orang V :
“Tentang episode-episode yang baru saja mati!”

Orang II :
“Atau tentang batu-batu bisu?”
Orang V :
“Tidak. Ini tentang kisah-kisah airmata!”

Orang II :
“Ataukah tentang…”

Orang V :
“Jangan mengejar makna jika kau tak paham kisah bulan. Ini tentang lembaran kisah airmata bulan yang baru saja berakhir dan dibaca. Dari ujung mana harus diurai kekusutannya jangan kau tanyakan jika tak mengerti jawabannya.

Orang III :
“Semua pengetahuan pada akhirnya ditujukan untuk manusia. Membuka jalan dan memberi tahu cara-cara untuk memerdekakan hidup. Hidup hanya semata bunga alang-alang, diterbangkan angin, di udara, jatuh ke tanah, lalu mati. Sehingga perlu manusia memiliki pengetahuan baik dan buruk, sebagai senjata, sebagai modal menjalani hidup. Lalu, kemudian, pilihan untuk memilih senjata, tergantung pada siapa yang berpengetahuan itu akan menggenggam apa. Perjuangan kemanusiaan menjadikan manusia menjadi kisah yang agung”.

Orang V :
“Buka kembali lembaran kisah itu. Biarkan setiap orang bercermin, lalu menjadi kisah itu sendiri”.

Orang III :
“Siapa yang melukiskan tinta-tinta kesedihan pada dinding malam? Siapa yang menulis takdir dari penderitaan?”

Orang V :
“Takdir manusia adalah untuk melawan takdir. Bila bumi adalah gambaran surga, mari melawan takdir penderitaan. Buka gulungan itu!”

Orang I :
“Pernahkah kau dengar sungai bernyanyi?”

Orang V :
“Buka gulungan itu!”

Orang III :
“Pernahkah kau dengar samudera raya membahanakan melodi-melodi terindah?

Orang V :
“Buka gulungan itu!”

Orang IV dan Orang VI :
“Alkemis, sebutkan sepata kata…!”

Alkemis :
“Hidupkan kisah itu sekarang!”
[menyalakan api]

Alkemis menabuh tabuhan. Orang IV dan Orang VI membuka gulungan kisah itu, dan setiap orang menjadi kisah itu sendiri.

Barabas :
“Tetapkan penghapusan dosaku!”

Pilatus :
[membakar lembar-lembar dosa]
“Dosamu sudah terhapus…dosamu sudah terhapus…dosamu sudah terhapus…!

Batsyeba :
“Dari keturunankulah yang telah ditakdirkan untuk memeluk takdir itu. Takdir penghapusan dosa manusia. Takdir yang memisahkan manusia dari dunianya. Takdirnya adalah membawa pedang, bukan damai. Pedang yang memisahkan anak laki-laki dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya”.

Magdalena :
“Pedang bagi yang mencintai apapun lebih dari Dia. Aku mencintaiNya dengan cinta yang tak pernah kuberikan sebelumnya kepada siapapun juga. Dia, adalah anak yang dititipkan ke dalam rahim seorang perawan. Dialah anak yang dikandung dalam kesusahan. Maria, menanggung ketakutan dari tuduhan berbuat aib. Maria, menanggung ketakutan dari rajaman dan tebasan pedang. Maria, perempuan yang mulia karena dia dihibur oleh para malaikat saat kesedihan datang merundung. Maria…”.
[menyanyikan lagu Ave Maria]

Pilatus :
“Aku tak lagi bersalah pada orang itu. Aku berusaha melepaskanNya dari jeratan tuduhan yang tidak berdasar. Procla juga menasehatiku katanya: Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam”.

Alkemis :
“Kisah ini telah ditulis jauh sebelum kau berusaha melepaskan Sang Alkimia! Kau hanyalah salah satu tokoh dalam tragedi ini. Itulah tragedi penyelamatan manusia. Barabas, kau juga hanya salah satu tokoh. Namun kisahmu lebih panjang. Seseorang telah merekayasa dan mengaku bahwa dirimulah yang telah menuliskan sebuah kitab. Kitab Barabas. Kitab kebohongan itu”.

Batsyeba :
“Misteri Ilahi. Alkemis, itulah misteri Ilahi dan kita sama-sama sebagai tokoh dari lakon Ilahi itu. Aku istri Uria yang dirampas oleh Daud. Tetapi ternyata dari rahimkulah generasi itu lahir. Juga tentang Barabas, dia masih semata nama tokoh dari penyesatan di akhir zaman yang telah dituliskan oleh para alkemis-alkemis lainnya. Karena sebuah sisi, sisi gelap, akan terus mengintai sampai kita tak lagi ingin jadi manusia.

Alkemis :
“Tutuplah gulungan itu, telah cukup. Mari kita kembali kepada peran kita yang sebenarnya, peran sebagai manusia. Mari mengarah ke Tuhan. Tinggalkan dunia lama. Sekarang menuju ke kehidupan roh yang baru. Penyesatan akan terus berjalan di muka bumi ini. Wahyu yang dituliskan di dalam kitab-kitab suci itu adalah nyata.”

Alkemis kembali menabuh tabuhan. Orang IV dan Orang VI mengangkat kembali gulungan kisah itu, dan setiap orang tidak lagi menjadi kisah sebelumnya.

Orang I :
“Aku mendapati sepinya hatiku pada daun-daun jatuh. Selamat berpisah. Aku mendapati malam menggigil bersama jantungku. Temuilah fatamorgana. Aku tak mendapati apa yang bisa kutaburkan dalam redup ceriaku. Hempaskan senyummu. Tebas kenanganku. Aku kini mau hidup tuk bertemu hari esok, karena debu peradaban bukanlah apa seharusnya kita genggam. Manusia lama adalah sebatas kenangan. Aku ingin jadi manusia yang baru”.

Orang II :
“Darah pertikaian bukanlah jalan. Mari genggam iman sebagai senjata bagi jiwa kita. Tinggalkan kisah lama”.

[Orang I dan II menumpahkan isi wadah yang ada pada mereka]

Orang-orang bergerak mendekati Alkemis.

Orang I, Orang II, Orang III, dan Orang V :
“Bertobat…!”

Alkemis :
[membaca mantra terus menerus sambil menabuh tabuhan]
“Angin membuka pintu. Pintu membuka roh. Roh membuka kehidupan”

Orang IV dan Orang VI membungkus semua orang dengan gulungan kisah. Orang-orang bergerak sesuai dentuman irama yang ditabuh Alkemis dan terbungkus bersama ke dalam gulungan kisah itu.

Alkemis :
“Dan kita menjadi kisah yang baru”

***Selesai***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar