Jumat, 07 Oktober 2011

Setengah Abad Kerajaan Siau | Sejarah di Sulawesi Utara

Kedatuan (kerajaan) Siau, sebuah sistem pemerintahan komunal masa lampau yang berkedudukan di pulau Siau (02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT), pemimpin dari sistem ini digelari DATU – sebuah kosa kata bahasa Melayu Kuno. Didirikan oleh Lokongbanua (II) yang merupakan anak dari Pahawonsuluge dengan Hiabe Lombun Duata. Dia sekaligus didaulat menahkodai Kedatuan Siau pada tahun 1510.

Dalam berbagai catatan sejarah, kerajaan ini pernah memiliki bagian kerajaan yang meliputi bagian selatan Sangihe, pulau Tagulandang, pulau Kabaruan (Talaud), pulau-pulau teluk Manado (kerajaan Bawontehu), serta di wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (Minahasa Utara), dan wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara). Bahkan pernah melakukan ekspansi sampai ke wilayah Leok Buol dan Makassar demi mengejar armada laut kerajaan Makassar yang tengah menduduki Bolaang Mongondow.
Pada masa kepemimpinan Raja Lokongbanua II ini (1510-1549), agama Katolik diperkenalkan di pulau Siau pada tahun 1516 melalui sebuah rombongan ekspedisi bangsa Portugis yang dipimpin oleh Diego de Magelhaes. Rombongan ini menggelar ibadah misa Paskah di Kakuntungan, ibukota kerajaan waktu itu. Karena momen inilah Kakuntungan pada akhirnya lebih dikenal dengan nama barunya, Paseng.

Paseng bukan satu-satunya yang ditetapkan sebagai ibukota kerajaan Siau. Karena tercatat juga antara lain Pehe, Ondong, dan Ulu (Hulu Siau) pernah menjadi ibukota dari kerajaan ini. Perpindahan ini disebabkan karena beberapa alasan, tapi yang terutama adalah alasan kondisi alam yang tidak memungkinkan akibat aktifitas gunung api aktif Karangetang.

Raja kedua adalah Raja Posumah, yang memerintah sejak tahun mangkatnya Lokongbanua II; 1549 sampai 1587. Pada masa kepemimpinan raja inilah Katolik mendapat tempat bagi benih agama kerajaan. Raja Posumah dibaptis di sebuah sungai di Manado, lalu mendapat nama baptis Don Jeronimo atau yang juga dikenal dengan sapaan Hieronimus.

Kerajaan ini sempat mengalami kekosongan tampuk pemerintahan selama 4 tahun sejak mangkatnya Raja Posumah. Raja ketiga dipegang oleh Winsulangi atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi pada tahun 1591 sampai 1639 dengan pusat pemerintahan di Pehe. Di masa kepemimpinan raja ini diadakan sebuah perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia di Manila, Philipina pada tahun 1594. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan yang dirintis bangsa Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi tentara Spanyol dan sekaligus menjadi tempat bermukimnya para pendeta Spanyol, Portugis dan Italia.

Siau yang hakikinya diperkenalkan oleh beberapa pihak sebagai sebuah kerajaan tunggal dengan pusat pemerintahan di pulau Siau ini ternyata bukan satu-satunya kerajaan di sana. Bahkan ironisnya, pada sebuah referensi kuno Winsulangi tercatat bukan sebagai datu di Siau tapi sebagai datu di Pehe, hanya sebagai salah satu kerajaan di pulau Siau. Raja Siau justru dipegang oleh Mohonise pada waktu itu.

Sebuah karya sastra lisan (bansil) wilayah Tabukan, sebagaimana yang sering dikutip banyak pihak, menyebutkan nama-nama kerajaan (yang diberi garis bawah) sekaligus raja-rajanya (ditebalkan hurufnya) yang pernah dikenal masyarakat Sangihe. Kutipan dari karya sastra khas bansil ini ditampilkan dalam ejaan asli van Ophuisen dikutip dari Peri hal Kampongwezen dan Kampongbestuur dehoeloe dan sekarang dalam keradjaan Taboekan, Sem Dalope Paparang, 1927:

“Soe Manaro i Laloda, Soe Wenang i Donangbala,
Soe Tahoelandang i Pako, Madolokang i Tamoengkoe.
Soe Siaoew i Mohonise, soe Pehe i Winsoelangi
Soe Tamako i Kakalang,
Soe Manganitu i Tolo, Mahoeboengan i Tompolioe,
Soe Tahoena i Woentoeang, Malahasang i Poeloentoembage,
Soe Kalongan i Tatehe taoe maka Tehe woba,
Soe Kendahe i Hioeng, Malinkaheng i Wagania,
Soe Talawide i Poeko, taoe Pepoekoliwoetang,
Soe Sawang i Rodoti, Welengang i Pontolawokang,
Soe Sahabe i Matali , Sohowang i Pangaloreloe
Soe Tawoekang i Hama, Rimpoelaeng i Woeateng
Soe Loemaoege i Taboei, Kaloesada i Ratoengboba
Soe Koema i Kolowoba
Soe Koeloehe i Makakoeheting soe Pako Woelele
Soe Manaloe i Loemampoe Tonggentoelang i Megenoe
Soe Moade I Kansile Manoewo I Ongkedio”.

Namun demikian, Winsulangi merupakan pemimpin yang progresif. Pernah kehilangan tampuk kekuasaannya pada tahun 1614 ketika pusat kedatuan di Siau diduduki Belanda dan Ternate saat dia tengah memadamkan pemberontakan di Tagulandang. Tragedi pendudukan Belanda dan Ternate pada tahun 1614 ini mengakibatkan sebanyak 499 orang Siau ditangkap dan dibawa paksa ke Banda untuk menjadi pekerja pada perkebunan pala. Akibat kejadian pendudukan tersebut Winsulangi harus menyinggkir ke Manila bersama Putra Mahkota Kedatuan Siau, Batahi. Pada masa pengungsian ini Batahi memperoleh gelar akademis sebagai sarjana pada perguruan tinggi Jesuit di dalam benteng Intramuros Manila. Winsulangi beserta Batahi kembali merebut kedatuan dari tangan Belanda-Ternate pada tahun 1924 dengan partisipasi aktif dari Spanyol.

Di masa ‘damai’ hubungan dengan Spanyol ini banyak dari kalangan kedatuan/kerajaan yang berada di kawasan Nusa Utara telah mengecap pendidikan tinggi dengan gelar sarjana. Perguruan yang sering menjadi tujuan belajar antara lain Sekolah Katolik di Maluku, pendidikan tinggi Jesuit di Manila, dan Universitas Santo Thomas.

Anak dari Winsulangi, Batahi, meneruskan tahta kedatuan ayahnya. Di masa pemerintahan Batahi inilah banyak fenomena yang terjadi berhubungan dengan berbagai aksi spektakuler dan kepahlawanan dari panglima perang Hengkengnaung. Di antaranya seperti kisah yang ditulis oleh H.B. Elias dalam buku Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau (1973), dikatakannya:

“…Kira-kira pada tahun 1640 maka pengawal di Timeno memberitahukan kepada Laksamana bahwa ada konvoi bajak laut Mindanao lewat berlayar ke Selatan. Laksamana Hengkeng U Naung pun segera menyiapkan perahunya dan mengikuti bajak laut itu dari belakang. Kejar punya kejar ternayata bajak laut itu memasuki teluk Kora-kora (kini) mendarat di sana dan naik menuju Tondano. Hengkeng U Naung pun tiba di tempat itu (di panatai Kora-kora). Penjaga perahu Mindanao ditumpas dan Hengkeng U Naung mengikuti gerakan pasukan Mindanao itu dari belakang. Tiba di perbatasan jalan antara Tomohon dan Tondano ternayata Mindanao sudah perlibat dalam prtempuran melawan pasukan Tomohon-Tondano dalam satu perkelahian yang sengit.

Setelah menaruh kirai akan terrain itu, Hengkeng U Naung memerintahkan pasukannya turut membantu Tomohon Tondano dalam perlawanan mereka terhadap serangan bajak laut Mindanao. Kalau sebelumnya ada kans bagi Mindanao keluar sebagai pemenang dari kancah pertempuran, tetapi dengan turut campurnya pasukan Angkatan Laut dari Kerajaan Siau, maka sudah tertentu akhirnya peperangan. Semua bajak laut Mindanao itu habis tertumpas tidak seorang yang tinggal hidup. Dan di atas mayat-mayat yang bergelimpangan itu menari bahu membahu pasukan-pasukan pemenang bersoraksorak teriakan kemenangan. Oleh mereka itu sebagai kenang-kenangan yang hidup akan kemenangan yang telah tercapai bersama tempat yang menjadi medan pertempuran itu dinamainya ‘Kasuang’, artinya dalam bahasa Siau: mayat. Hengkeng U Naung spontan ditahan oleh kepala-kepala pasukan Minahasa (kepala balak-balak) untuk turut hadir dalam pesta kemenangan yang lantas diselenggarakan.

Dalam salah satu pidato yang diucapkan oleh wakil Minahasa dalam kesukaan yang tiada habis-habisnya itu ia berkata: bahwasanya sudah diputuskan dan diatur sebagai permohonan kepada pasukan dari Siau untuk menetap di Minahasa di mana saja suka mereka tinggal. Permohonan itu ditolak oleh Hengkeng U Naung, karena misinya belum selesai.

Sesudah mengadakan perembukan berhubung penolakan itu, maka hari esoknya kepala-kepala balak itu berkata: bahwa Minahasa sudah dibagi kepada 8 suku bangsa Minahasa, ada pulau yang tersisa di luar pembahagian maka biarlah pulau itu dihadiahkan kepada Hengkeng U Naung sebagai tanda persahabatan yang abadi antara Siau dan Minahasa. Hadiah itu diterima oleh Hengkeng U Naung dan nanti dilaporkan kepada Baginda Raja Batahi…”

Kasuang sampai sekarang masih merupakan salah satu nama tempat di perbatasan Tomohon-Tondano. Menurut beberapa informasi, tombak ‘perjanjian damai’ Hengkengnaung ini masih tertancap di tempat semula.

500 TAHUN BENDERA KENANGAN
Tahun 2010 merupakan tahun yang ke-500 dari Kedatuan Siau sejak berdiri pada tahun 1510. Kedatuan ini hanya menyisahkan reruntuhan-reruntuhan kisah yang nyaris sulit diingat oleh generasi baru. Dalam skala keindonesiaan, momentum ini seyogyanya diperingati dalam kepentingan refleksi jati diri dan perjalanan sosial budaya, serta untuk menjembatani berbagai ingatan massal (sastra lisan) yang masih tersimpan secara tidak beraturan.

Sebagai catatan akhir, sejauh ini belum ada buku yang merunut kisah diaspora Siau ini secara komplit. Tulisan atau dokumentasi lainnya mengenai Siau selama ini hanyalah penggalan-penggalan kisah belaka yang berusaha disampaikan oleh para peneliti.

“Pulau kecil yang memiliki cerita besar”. Barangkali ini adagium yang tepat untuk menutup tulisan ini, karena membicarakan Siau pada akhirnya akan berhadapan dengan ratusan bahkan ribuan halaman.***(Dari berbagai sumber)

2 komentar:

  1. saya pikir, saatnya kita berkumpul untuk membicarakan sejarah kerajaan Siau dengan serius,untuk kebanggaan masyarakat Siau.

    BalasHapus
  2. saya pikir, saatnya kita berkumpul untuk membicarakan sejarah kerajaan Siau dengan serius,untuk kebanggaan masyarakat Siau.

    BalasHapus