Bab I : MALAM BERTEMU KISAH
(PULUTAN, TALAUD – RUMAH MUNTIA ELO)
Suara cicit kelelawar terbang rendah, yang tengah berpesta pada rerimbunan pohon pisang ikut menyumbangkan sound track malam yang dramatis. Suasana rumah remang, hanya mengandalkan cahaya bulan. Di kejauhan Gunung Piapi terlihat berdiri menjulang lebih tinggi dari biasanya. Samar-samar kabut tebal menutup puncaknya dan terlihat kian menakjubkan. Seakan-akan ingin menutup rapat semua misteri yang pernah dan masih tersimpan di sana. Aku sendiri sangat penasaran karena belum pernah menjajal ketinggian gunung yang sering dianggap keramat itu.
Dulu, menurut kisah orang-orang tua, di puncak gunung itu pernah hidup dua orang pandai besi, Larrossa dan Mannatta. Entah apa yang melatarbelakangi alasan dipilihnya puncak gunung sebagai tempat domisili mereka, yang pasti kemudian keberadaan mereka menentukan kelangsungan nasib orang-orang dari negeri Cina yang dikejar oleh seekor ular raksasa. Kedua pandai besi inilah yang menjamu kesaktian dari ular raksasa yang kulitnya tak mempan oleh senjata tajam karena kuatnya sisik-sisik yang membungkus seluruh tubuh ular itu.
Aku pikir, barangkali wujud ular raksasa seperti di cerita ini dinamakan naga dalam legenda dan kepercayaan bangsa Cina. Hanya saja, naga kali ini bertabiat buruk, mengejar seorang gadis belia berparas elok untuk dipersunting sebagai istri, sehingga ia menemui konsekuensi perbuatannya, mati dengan tragis. Tubuhnya jatuh terhempas ke pantai, dan barangkali, karena proses alam atau entah proses mistis apa yang sampai sekarang tidak aku pahami, bangkai naga itu hingga kini berwujud batu. Membujur panjang dan separohnya tertanam dalam pasir. Akibat cerita itulah aku, malam ini, seperti sebelum-sebelumnya, senantiasa memandang dengan takzim puncak gunung Piapi yang kuanggap keramat.
Malam ini gelap tanpa ada listrik. PLN mengalami keterlambatan pengiriman bahan bakar dari pelabuhan Bitung, setidaknya begitulah alasan pihak PERTAMINA. Kapal yang dijadwalkan berangkat dua hari lalu takut mengambil resiko menghadapi gempuran gelombang Desember yang tingginya mencapai 5 meter.
Aku sebenarnya bersyukur atas keadaan ini. Rencana pertemuan dengannya justru sangat membutuhkan keadaan seperti demi menjaga kerahasiaan. Muntia, seorang saudara dekat yang kini, entah karena alasan apa, tengah mengikuti perjuangan kemerdekaan bangsa Moro, perjuangan yang dianggap gerakan separatis di wilayah Philipina Selatan. Sebuah pesan balasan melalui handphone yang kuterima kemarin malam mengkonfirmasikan kesediaannya pada rencana pertemuan ini.
Dari arah dapur yang terpisah dari bangunan utamanya muncul lelaki berperawakan tinggi. Langkahnya cepat menerobos kesunyian malam. Dipinggangnya tampak menyembul jelas sebuah senjata genggam. Seseorang yang mengawalnya berhenti dalam jarak 10 meter, tepat di samar-samar bayangan pohon Nangka tetangga sebelah.
Aku, kendatipun sering menghadapi situasi pelik dan sering dianggap banyak orang sebagai manusia yang syaraf takutnya sudah putus, kali ini tetap saja bergidik. Muntia yang sekalipun masih sedarah denganku itu datang dalam sistem keamanan yang berlebihan. Senjata yang menyelip di pinggang pria setengah raksasa ini pasti masih jenis senjata andalannya dulu, Colt 45, jenis pistol yang umum digunakan oleh pejuang MNLF. Sedangkan si Muntia yang berdiri di kejauhan…jangan-jangan jenis FN atau Long Riffle 28. Agaknya kewaspadaan harus ditingkatkan.
“Hawe* …?”, seru sosok yang mendekat.
“TAGAROANG !”
Dengan suara yang terkesan gemetaran, aku berusaha memastikan pada diri sendiri bahwa kode sandi yang baru saja dijawab tidak akan membatalkan rencana wawancara dengan salah seorang petinggi pejuang gerakan separatis Moro National Liberation Front ini.
“Baiklah, Hawe. Aku sepakat diwawancarai atau sejenis diskusi denganmu bila pertama-tama kau menyetujui syarat teknis dari penulisan yang nantinya kau gunakan merangkai semua ocehanku”
“Apa syarat penulisannya ?,” aku melongo heran.
“Bila kau ingin menulis kalimat ujarku atau siapapun sejauh itu masih menyangkut kisahku, lalu memakai tanda petik sebagai pembuka dan penutup ujaran maka jangan pernah menggunakan tanda koma atau titik sebagai bagian ujaran”
“Maksudnya ?”
“Sebentar…! Untuk lebih jelasnya, kita perlu tulisan nyata”
Ia melangkah masuk ke dalam rumah, menuju kamar dan kembali dengan sebatang pulpen, selembar kertas serta sebuah lampu botol. Menulis tiga baris kalimat.
“Aku menembak polisi”, ujar Muntia.
bukan
“Aku menembak polisi,” ujar Muntia
“Tidak. Tolonglah cari contoh kalimat lain, setidaknya lebih netral. Saya anti kekerasan”
“Baiklah kalau begitu”
Tulisan dicoret. Menulis kalimat ujar baru lagi.
“Aku mencintai Mawar putih”, ujar Muntia.
bukan
“Aku mencintai Mawar putih,” ujar Muntia
Kertas disodorkan. Perhatikan letak tanda komanya, sambungnya ketus. Aku senyum setuju.
“Mengapa harus berbeda dari sisi konvensi penulisan, apa ini menyangkut ideologi perjuanganmu ?”
“Tidak ! Ini lebih berhubungan dengan logika Semiotika. Bagaimana mungkin kekeliruan konvensi selama ini menempatkan dengan sewenang-wenang tanda koma masuk dan menjadi bagian dari kalimat ujar sedangkan seharusnya ia menjadi tanda pemisah dari ke dua frase demi membentuk sebuah kalimat? Pun, bila kau hubungkan dengan sisi perjuangan, maka benang merah dari perjuangan kami ini lebih terletak pada logika kebenaran. Mengenai sejarah dan realitas yang terjadi. Logika yang sama dengan dasar jurnalistik yang kau emban”.
Sesaat aku tercengang. Berdehem pelan sembari menetralkan rasa kering di leher. Hampir saja aku tercekak oleh penjelasan yang benar-benar di luar dugaan. Sangat cerdas, gumamku. Tak pernah kusangka sebelumnya bahwa Hawe Muntia, sosok yang dulunya sangat lugu itu kini telah berubah menjadi pribadi yang sangat kritis.
Ada rasa tidak nyaman menjalari telinga kala mendengar ‘kekeliruan konvensi’ yang disampaikan dengan suara yang agak dilebih-lebihkan. Entahlah. Tapi rasanya kata-kata Muntia yang baru saja didengar itu sekaligus berhasil menakar ketidaktahuanku terhadap teknis penulisan yang lebih wajar atau sesuai dengan apa dia sebut ‘logika semiotika’.
“Hal yang sama berlaku untuk tanda titik”
“Apa bagimu ini penting?”
“Ya, setidaknya kita memulai segala sesuatu dengan kebenaran-kebenaran hakiki. Bisa dipertanggungjawabkan secara logika ilmu pengetahuan. ”
“Baiklah, aku setuju !”
***
(MANADO – KAMAR PENGAP ALPIUS ELO)
Headset menempel di kedua telingaku sambil terus memperhatikan dengan seksama agar tidak ada bagian dialog manapun yang luput dari perhatianku. Kata-kata tersebut diketik dalam kejengkelan yang nyaris membuatku sanggup menghabiskan sebotol Cap Tikus** yang berkadar alkohol kira-kira 40 persen. Sambil berusaha tetap menjaga objektifitas perasaan terhadap wawancara yang dilakukan, aku mulai menulis lagi dengan mata dipicingkan menghindari serbuan asap rokok yang memerihkan :
Aku Muntia, rela meladeni wawancara, diskusi, atau pembenaran-pembenaran lain yang intinya tetap sama berusaha sebaik mungkin menulis dalam bahasa Indonesia namun kata-kata Melayunya tidak di Indonesiakan. Dan maaf bagi yang paham aturan bahasa kalau aku lancang menulis di sepanjang cerita ini dengan menggunakan tanda baca seperti : /“Porodisa”, kataku/, yang tanda komanya ditempatkan setelah tanda kutip agar, mungkin di lain kali, setelah tanda koma itu masih bisa kutulis huruf-huruf seperti api. Kalau ada yang tidak setuju, maka aku akan memindahkan tintaku ke atas lempeng ombak.
***
Sebenarnya secara pribadi, aku sangat keberatan dengan sikap Muntia yang sangat kaku dan sok ahli bahasa pada pertemuan kami waktu itu. Tapi karena janjiku, maka biarkan syarat penulisannya yang terkesan agak konyol itu digunakan dalam tulisan selanjutnya. Kami sudah membuat kesepakatan tentang hal itu.□
-------------------------
* Hawe: Bahasa Talaud : sapaan yang berarti kawan; teman.
**Cap tikus:Minuman beralkohol sejenis arak yang diproses dari hasil penyadapan air pohon Aren. Pada zaman pendudukan Kolonialisme Belanda, hasil ekstraksinya yang akan dijual, biasanya dituang ke dalam wadah botol yang berlogo Cap Tikus. Sejak saat itu penyebutan Cap Tikus lebih populer ketimbang nama lokalnya seperti ‘Sophi’ atau kosa kata lokal lain di Minahasa.-------------------------
* Hawe: Bahasa Talaud : sapaan yang berarti kawan; teman.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل