Fosil ular yang membatu dan biasa disebut Puang Katoan. |
Kesaktian ketujuh saudara laki-laki dari putri tersebut sulit menandingi kehebatan sang Naga. Bahkan tebasan-tebasan pedang Ratuadio yang berisikan kekuatan magis hanya mampu melepaskan beberapa sisik saja.
Orang-orang Sulu, Tabukan, Malesoeng, dan Ternate sudah dijajaki untuk sebisanya membantu mereka mengatasi amukan Naga yang terus memburu perahu yang membawa lari Arrussuello. Tidak ada pihak yang bisa menyanggupi harapan mereka.
Dalam keadaan yang serba kalut, perahu yang sebelumnya mengarah ke Selatan diputar kembali menuju ke Utara, ke arah asal. Berharap di negeri-negeri yang kelak akan dilewati nanti masih ada orang yang berkesanggupan mengatasi bahaya yang terus membuntuti perjalanan mereka.
Tibalah mereka di salah satu teluk nusa Araallan (Pulau Karakelang). Sebuah gunung yang tidak terlalu menjulang tampak di hadapan mereka. Kepulan tipis asap dari atas puncak gunung tersebut menyiratkan ada tanda kehidupan manusia di sana.
Pada puncak gunung Piapi, ketajaman mata dari Mannatta dan Larrossa, dua Pandai Besi Kedatuan Pulutan (Puratangnga), menangkap suatu kejadian yang aneh sementara terjadi dari arah laut. Kedua Pandai Besi penghuni Tujuh Pintu (Ngara Pitu) puncak Piapi melihat seekor Naga tengah mengejar sebuah perahu. Sejurus kemudian tampak sesuatu dilempar dengan tenaga yang sangat luar biasa ke arah mereka, ke arah puncak Piapi. Barangkali hal inilah yang menjadi sumber masalah, pikir kedua Pandai Besi. Tanpa berpikir panjang merekapun melesat ke udara, menyambar sesuatu yang dilempar ke arah mereka tersebut. Alangkah terkejutnya Mannatta dan Larrossa menyadari sesuatu yang dilempar tadi ternyata adalah seorang anak gadis yang berparas sangat cantik.
Melihat peristiwa tersebut, Naga bergegas mengejar ke arah puncak gunung. Dia tidak ingin kehilangan gadis itu. Dengan kemampuan yang dimiliki, hanya dalam waktu yang singkat saja sang Naga telah berada di atas puncak Piapi dengan tanpa hentinya menebar maut terhadap apapun yang merintangi perjalannya.
Mannatta dan Larrossa, di negerinya Pulutan, biasa menyebut makhluk Naga itu dengan sebutan Atoanna atau yang berarti ular. Dengan senyum ramah mereka mempersilahkan Atoanna untuk bisa bersabar dan dapat mengikuti sebuah silaturahmi sederhana, makan pinang sirih, sebagaimana kebiasaan setempat dalam menjamu tamu. Tiga buah batu besar memerah dalam api sebagai sajian yang tengah dipersiapkan bagi Atoanna.
Tanpa merasa gentar sedikitpun Atoanna meladeni permintaan kedua Pandai Besi ini. Kalaupun silaturahmi tersebut merupakan bagian dari uji kesaktian maka pasti dirinya tidak akan bisa dikalahkan. Sayangnya, malang tidak dapat ditolak. Dalam seremoni kecil inilah sang Naga, sang Atoanna, akhirnya menggelepar lalu terkapar mati di pinggir laut seusai menelan tiga batu yang sebelumnya telah dipanaskan dalam api dengan rapalan beberapa mantra. Empedunya pecah menggenangi tanah. Tubuhnya lambat laun, yang entah karena proses alam atau entah karena proses magis apa, berubah menjadi batu.
Tubuh Atoanna yang telah berubah jadi batu tersebut dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Puang Katoan (artinya : Kepala Ular) yang membujur sepanjang beberapa ratus meter di pinggir sebuah pantai. Empedu yang pecah tergenang di sekitar bujuran batu lalu menjadi sebuah danau kecil. Orang di negeri Pulutan menyebut danau tersebut dengan nama Melam (artinya : Biru). Konon, air danau itu selalu terlihat berwarna biru dan senantiasa dijaga oleh seekor Belut Emas, yang seluruh tubuhnya berwarna keemasan serta berkilauan bila tertimpa cahaya. Belut Emas tersebut dahulu seringkali dilihat oleh masyarakat setempat tapi kemudian hilang secara misterius.
Danau Melam dan Puang Katoan masih ada di Pulutan sampai sekarang sebagai saksi bisu cerita ini.***(Sumber: Cerita Rakyat yang terdapat di Pulutan - Kepulauan Talaud - sulawesi Utara. Dibahasakan kembali oleh Ie Hadi G).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar