(mengenang tragedi bencana Manado, 15 Januari 2014)
Kisah cengkerama bencana dan tangis seorang nenek di antara pergantian sebuah musim
Saat gunung mengirim air dan merendam jengkal-jengkal rumah serta harapan sunyi perempuan tua
Segala doa dari airmatanya jadi kepingan-kepingan nestapa yang melesap ke dalam bencana
Baginya, tak ada lagi tempat bersujud karena segala tanah tlah menjelma padang air tanpa tepi
Baginya, tak ada lagi jalan berlari sebab sudut-sudut kota tlah memajang kehancuran yang ngeri
Padahal kemarin dia masih berwajah riang menyirami setunas kata bersama senja
Padahal semalam dia sempat menerbangkan pucuk gelisah yang ketika itu berdiri menyapa kesepiannya
Dan lalu paginya mahda angin dan bianglala hilang dijemput gelora air
Wajah keriputnya yang biasa menggambar dera kian pucat pasi tergerus gelisah
Tangannya gemetaran perlahan dan terangkat hingga tubuhnya terguncang hebat
Mata rabunnya terbelalak menatap sebuah pahatan di dinding langit keruh
Mene, Mene, Tekel, u-Pharsin
Satu mina, satu mina, satu syikal, setengah mina.
Astaga, di kota ini ada yang umur kekuasaanya tengah ditakar, gumam perempuan itu
Astaga, itu karena penguasa hanya sibuk memikirkan kekuasaan, seru perempuan itu
Astaga, itu karena penguasa selalu abaikan kemalangan nasib banyak perempuan tua, teriak nenek itu
Gigilnya kian menjadi hingga ia disapa banjir dalam dingin
Tanpa erangan dia akhirnya merayapi gerbang mimpi dan menghibur kelelahan duka panjangnya
Kali ini dia tak perlu lagi selimut yang biasa menutupi jiwanya dari kidung sengsara
Sebab air bau dan kecoklatan memapah rohnya pergi menjumpai padang alam lain
Lalu episode cengkerama-cengkerama baru antara banjir dan nenek itupun berlanjut
Banjir berbisik padanya, kali ini sekalipun ia berseru tegak kepada Ilahi akan diterjang air
Banjir bertutur padanya, kali ini biarpun ia sujud simpuh ke tanah juga akan tenggelam dalam air
Banjir bersapa padanya, kali ini meskipun ia sembayang di mezbah hati pasti terkapar terhisap bencana
Perempuan renta itu merekahkan senyum di bibirnya yang keras dan kaku
Hingga terdampar di tepian kota itu, ia lalu memintal bayangan kenangan yang memeluknya gamang
Di sana ia pasrahkan jejak kisah dan segalanya yang dapat terhanyut, direlakan hilang dalam bencana
Juga tentang tubuhnya yang hancur, tlah memajang jasadnya sebagai perempuan tak terkenali lagi
Lalu kisahnya kemudian hanya berlari dalam sepi yang panjang
Ie Hadi G
Manado, 24 Februari 2014. Di Tepi Kuala Memeluk Doa.
Kisah cengkerama bencana dan tangis seorang nenek di antara pergantian sebuah musim
Saat gunung mengirim air dan merendam jengkal-jengkal rumah serta harapan sunyi perempuan tua
Segala doa dari airmatanya jadi kepingan-kepingan nestapa yang melesap ke dalam bencana
Baginya, tak ada lagi tempat bersujud karena segala tanah tlah menjelma padang air tanpa tepi
Baginya, tak ada lagi jalan berlari sebab sudut-sudut kota tlah memajang kehancuran yang ngeri
Padahal kemarin dia masih berwajah riang menyirami setunas kata bersama senja
Padahal semalam dia sempat menerbangkan pucuk gelisah yang ketika itu berdiri menyapa kesepiannya
Dan lalu paginya mahda angin dan bianglala hilang dijemput gelora air
Wajah keriputnya yang biasa menggambar dera kian pucat pasi tergerus gelisah
Tangannya gemetaran perlahan dan terangkat hingga tubuhnya terguncang hebat
Mata rabunnya terbelalak menatap sebuah pahatan di dinding langit keruh
Mene, Mene, Tekel, u-Pharsin
Satu mina, satu mina, satu syikal, setengah mina.
Astaga, di kota ini ada yang umur kekuasaanya tengah ditakar, gumam perempuan itu
Astaga, itu karena penguasa hanya sibuk memikirkan kekuasaan, seru perempuan itu
Astaga, itu karena penguasa selalu abaikan kemalangan nasib banyak perempuan tua, teriak nenek itu
Gigilnya kian menjadi hingga ia disapa banjir dalam dingin
Tanpa erangan dia akhirnya merayapi gerbang mimpi dan menghibur kelelahan duka panjangnya
Kali ini dia tak perlu lagi selimut yang biasa menutupi jiwanya dari kidung sengsara
Sebab air bau dan kecoklatan memapah rohnya pergi menjumpai padang alam lain
Lalu episode cengkerama-cengkerama baru antara banjir dan nenek itupun berlanjut
Banjir berbisik padanya, kali ini sekalipun ia berseru tegak kepada Ilahi akan diterjang air
Banjir bertutur padanya, kali ini biarpun ia sujud simpuh ke tanah juga akan tenggelam dalam air
Banjir bersapa padanya, kali ini meskipun ia sembayang di mezbah hati pasti terkapar terhisap bencana
Perempuan renta itu merekahkan senyum di bibirnya yang keras dan kaku
Hingga terdampar di tepian kota itu, ia lalu memintal bayangan kenangan yang memeluknya gamang
Di sana ia pasrahkan jejak kisah dan segalanya yang dapat terhanyut, direlakan hilang dalam bencana
Juga tentang tubuhnya yang hancur, tlah memajang jasadnya sebagai perempuan tak terkenali lagi
Lalu kisahnya kemudian hanya berlari dalam sepi yang panjang
Ie Hadi G
Manado, 24 Februari 2014. Di Tepi Kuala Memeluk Doa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar