Jumat, 13 Desember 2013

Getar Di Penjagalan

Salah satu adegan saat dipentaskan
Naskah drama yang dimainkan 10 orang dengan judul Getar Di Penjagalan karya Ie Hadi G ini merupakan naskah religius Kristiani yang bisa dipentaskan di momentum Natal, Paskah, atau acara religius lainnya. Disarankan bagi yang tertarik mementaskan karya ini agar bisa menghubungi penulisnya terlebih dahulu. Semoga anda dapat terberkati dengan adanya naskah ini.
Dan jika anda terberkati dengan adanya naskah ini, maka alangkah bahagianya jika ikut memberkati penulisnya yang telah bersusah payah menulis dan membagi naskah di blog ini untuk bisa diakses secara mudah. Selamat menikmati dan Selamat membaca.

Getar Di Penjagalan karya Ie Hadi G

TOKOH-TOKOH:
HAKIM: Laki-laki. Dingin. Tegas. Emosional. Sok berkuasa. Sok pintar. Dihormati. Memegang palu besar.
ESTHER: Perempuan. Berwibawa. Tegas. Dihormati. Baju yang digunakan mirip sayap.
PRAJURIT 1: Laki-laki/perempuan. Dingin. Kaku. Kostum prajurit yang menyeramkan.
PRAJURIT 2: Laki-laki/perempuan. Dingin. Kaku. Kostum prajurit yang menyeramkan.
PRAJURIT PENABUH: Laki-laki/perempuan. Emosional. Kostum prajurit yang menyeramkan.
PENDETA: Perempuan. 50 tahun. Sombong. Memandang rendah nilai kebenaran. Munafik.
MANU: Seorang lelaki 30 tahun yang bekerja sebagai nelayan pada Tuan Richard.
TUAN RICHARD: Pemilik usaha penangkapan ikan. Mudah kasihan dan juga mudah marah.
NORA NIU: Perempuan. 20 tahun. Istri Tuan Richard. Sombong. Bersikap lembut tapi munafik.
GELANDANGAN: Laki-laki. Baju lusuh. Sorot mata yang lembut dan damai.



SETTING:
Ruangan pengadilan dari sebuah negeri.

PLAY:
Tirai yang menutupi ruang pengadilan perlahan terbuka. Seorang perempuan, Esther, berdiri di tengah dan menari dengan lembut. Beberapa obor dan lilin menerangi ruangan. Orang-orang lain lalu-lalang, sibuk menyiapkan acara persidangan. Tiang gantungan dan sebuah tempat penjagalan menghiasi ruang itu. Sebuah kursi yang bersayap berada di tengah, di dekatnya buah-buahan dan minuman berada di sebuah meja kecil.

ESTHER
Peradilan akan segera dimulai. [Prajurit Penabuh mulai menabuh tabuhan pertanda persidangan akan dimulai] Panggil mereka yang bersalah.

PRAJURIT 1
Yang pertama. Pendeta di sebuah kuil peribadatan.

PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Masuk!

Prajurit 2 menggiring masuk Pendeta yang terikat rantai.

ESTHER
Hakim telah datang. Peradilan bersiap…!

Prajurit 1, Prajurit 2, dan Prajurit Penabuh mengangkat semua kain penutup barang-barang yang ada di dalam ruangan. Hakim masuk dan duduk di atas kursi. Tabuhan berhenti ditabuh.

PENDETA
Tabea, Pak Hakim. Salam Damai. Semoga kau masih mengenalku. Pak Hakim, aku diadukan orang-orang karena…

HAKIM
[Memberikan isyarat untuk diam] Sshhh…bacakan problemanya.

ESTHER
[Prajurit 2 menyerahkan sebuah gulungan untuk dibaca] Pendeta. 50 tahun. Pemimpin peribadatan di sebuah kuil. Khotbah-khotbahnya sering tidak menyentuh esensi ajaran. Padahal dia mendapat nafkah, mencari makan, menghidupi keluarganya dari apa yang diucapkan di depan umat. Dengan kualitas ajaran yang teramat rendah itupun, pendeta ini sering melanggar kebenaran. Menghkhianati ajaran yang suci. Lalu para umat yang dengan lugu senantiasa berharap dan meminta petunjuk jalan kebenaran darinya itu menjadi goyah iman. Mereka perlahan-lahan meninggalkan kesucian. Menelantarkan kebenaran. Umat itu kini telah menjelma menjadi seperti monster-monster yang binal dan serakah. Umat telah lebih mengutamakan nafsu duniawi dan jauh daripada harapan kehidupan yang ilahiah.

HAKIM
Cukup…! Pendeta, apa pembelaanmu?

PENDETA
Aku belajar semua kitab suci saat di akademi, pak Hakim. Aku bisa mengukur semua kebenaran yang ada. Kebenaran bisa jadi kesalahan. Kesalahan bisa jadi kebenaran. Dua sisi mata uang yang melekat dalam takdir kemanusiaan kita. Aku masih manusia, pak Hakim. Kependetaanku hanyalah profesi, yang tidak ada ubahnya dengan profesi lain, yang tidak pernah lepas dari kesalahan. Kesalahan seorang pendeta itu adalah kesalahan yang manusiawi, pak Hakim.

HAKIM
Cukup…! Penggal kepalanya.

ESTHER
Penggal kepalanya…!

PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Penggal kepalanya…!

PENDETA
Tunggu, pak Hakim. Kau mungkin lupa nilai pengampunan yang tertera di kitab-kitab suci. Aku bisa berubah. Mungkin kita bisa mengaturnya dan membicarakan hal ini secara baik-baik.

HAKIM
Cukup…! Penggal kepalanya. Cepat…!

ESTHER
Penggal kepalanya…!

PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Penggal kepalanya…!

Prajurit 1 dan Prajurit 2 menyeret Pendeta, yang dari sikap sombong mendadak histeris dan ketakutan. Hakim tidak mempedulikan teriakan yang melolong minta ampun. Hakim malah dengan santai menikmati buah yang tersaji dan minuman yang dituang oleh Esther. Prajurit 1 memenggal kepala Pendeta. Prajurit 2 membawa pergi kepala yang dipenggal.

HAKIM
Berikutnya…!

ESTHER
Berikutnya…!

PRAJURIT 1
Yang berikutnya. Seorang pengusaha penangkapan ikan, bersama istri dan seorang pembantunya.

PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Bawa masuk!

Prajurit 2 menggiring masuk Tuan Richard, Nora Niu, dan Manu  yang terikat rantai. Tuan Richard dan Manu sangat ketakutan. Sementara Nora Niu dengan mata liar menatap seisi ruangan.

HAKIM
Bacakan inti problema mereka.

ESTHER
Perempuan yang bernama Nora Niu ini mengkhianati cinta Tuan Richard yang sangat tulus.

HAKIM
Perempuan, cinta, dan perselingkuhan. Kasus menarik. Hei, kau, [menunjuk ke Manu] ceritakan cepat apa yang terjadi.

MANU
Tuan Hakim, aku melihat mereka, Tuan. Sungguh mati, Tuan. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan kejadian itu. Barangkali mereka tidak menaruh curiga saat aku sedang mengail dekat pantai. Hari waktu itu mulai senja. Matahari mulai tenggelam. Aku penasaran dengan dua sosok yang saling berkejaran di bibir pantai. Aku rasa heran. Anak siapa di hari yang mulai senja itu masih berkeliaran di pantai. Aku putar haluan ke arah mereka. Perempuan yang mengenakan baju cerah itu familiar di ingatanku. Aku pikir Tuan dan Nora. Namun sosok lelaki yang sementara bersama Nora bukan seperti postur badan Tuan.
Aku mematikan mesin dari jauh lalu perlahan mendayung perahu mendekati pantai. Kubuang jangkar agar perahu tidak terbawa arus. Setan laut, benar mereka bukan anak-anak. Astaga. Aku turun dari perahu, Tuan. Berenang, berlagak seperti ikan duyung. Tidak persis. Sial. Tapi lebih sialan lagi mereka berdua yang terlalu asik sehingga tidak mempedulikan ada ikan duyung yang bodoh berenang sementara mendekat dan mengamati mereka.
Sepuluh kali aku terminum air laut, Tuan. Tidak mengapa. Anggaplah itu pengorbanan. Karena yang ada di otakku itu hanya hidup Tuan saja. Usahaku yang mempertaruhkan jiwa dan raga tak berguna ini pada saat itu, aku pikir, semata hanya demi tuan saja. Jikalau benar apa yang ada di pikiranku yang bodoh ini terbukti maka astaga. Hujan di gunung, banjir di lembah. Di jarak yang cukup dekat itu aku melihat mereka berdua saling senyum, cubit-cubitan, kelitik-menggelitik, tertawa cekikikan, berpelukan, dan mereka…eee…lalu mereka, tuan…eee…

NORA NIU
Dusta itu, pak Hakim.

HAKIM
Diam…!

TUAN RICHARD
[berbisik penuh harap] Teruskan.

MANU
[dengan wajah lesu dan sedih] Tuan. Semua orang tahu bahwa Tuan telah berbaik hati pada hidupku. Tuan berbelaskasihan padaku. Sudah sejak umur 10 tahun aku membaktikan diri demi hidup Tuan. Melayani Tuan. Tiap hari aku memperhatikan Tuan, kesukaan Tuan, yang ternyata sangat menyukai ikan laut. Aku bertekad tiap hari pergi memancing ikan semampunya. Semua demi Tuan. Hingga aku tahu cara mendayung, menjalankan mesin perahu, menyeberangi teluk-teluk dan tanjung-tanjung baru demi mencari ikan. Dan sejak saat itu aku menjadi seorang nelayan sejati yang membaktikan hidup demi Tuan Richard. Perananku, aku tahu, sangat kecil bagi hidup Tuan. Mencari ikan. Di kota ini, orang-orang tahu harus pergi ke mana untuk membeli ikan segar. Aku merasa sudah seharusnya berbuat begitu kepada Tuan. Menyiarkan nama harum Tuan ke mana saja aku pergi. Ke negeri-negeri baru. Aku senang melihat Tuan yang dilayani dengan tulus ini dikenal banyak orang. Siapa yang tidak mengenal Tuan Richard yang dermawan dan hartawan?
Suatu waktu kejantanan Tuan tergugah dan ingin menyunting seorang gadis. Aku melihat Tuan murung tiap hari. Mirip kisah dogeng-dongeng. Ikan kesukaan Tuan hanya jadi makanan anjing saja. Tuan tidak ingin menyentuhnya sedikit pun. Aku menghimpun semua informasi. Baik kabar burung maupun kabar bukan burung, mencari siapa perempuan yang mampu menaklukkan hati Tuanku. Akhirnya aku mendapatkannya. Aku mendatangi rumahnya. Bertemu dengan orang tuanya. Menyampaikan harapan Tuan. Mereka setuju. Gadis itu juga setuju. Lalu Tuan hidup bahagia. Semua kulakukan demi Tuan.
Sampai malapetaka yang dibawa perempuan itu terjadi, aku mencari kebenarannya seharga nyawaku. Itu semua demi Tuan. Dan kalau harus aku menjadi saksi atas kejadian itu, aku tahu dengan jelas bahwa kesempatan melayani Tuan akan segera berakhir.
Tuan, jika memang aku harus menjalani ini sekalipun kehilangan Tuan aku rela. Perempuan itu tidak akan membiarkanku begitu saja. Dia akan mengusirku jauh dari Tuan.

TUAN RICHARD
Manu….

NORA NIU
E…e…astaga, Manu. Kau ternyata kurang ajar. Tidak kusangka api dalam sekam yang telah kau hamburkan lalu mulai menyala di kenyamanan rumah tangga kami, di keteduhan hati tuanmu, lalu berujung di depan Hakim.

MANU
E…a…

NORA NIU
Mau bicara apa? E…a…e…a… kau mau bilang apa?

MANU
Sungguh. Demi nama siapa saja, aku melihat kejadian itu, Nora.

HAKIM
Diam. Bangsat-bangsat, diam. Niu, katakan apa yang terjadi. Cepat.

NORA NIU
[berdehem dan berusaha menguasai keadaan] Tuanku Hakim dan suamiku Richard, aku tahu betul kelakuanmu yang sangat emosional namun tetap memperhitungkan akal sehat atau logika. Jangan mudah percaya pada apa yang orang lain katakan. Percaya pada apa yang matamu lihat dan apa yang hatimu rasakan. Seperti saat kau melihatku pertama kali dan hatimu mulai tersiksa setiap malam karena bayangan diriku menggoda mimpimu. Tanpa kehadiranku hari-harimu yang ceria memudar tanpa arti. Apakah aku masih seberharganya seperti itu dalam kehidupanmu, Richard? Ataukah kau mulai termakan omong kosong Manu dan tidak lagi menghargai perjuanganmu dulu demi mendapatkanku lalu mulai mengandalkan amarah yang tak terkendali serta mengabaikan cinta kasihmu padaku? Jawab, Tuan Richard.

MANU
Aku melihatnya, Nora. Jika Nora kurang percaya, saat itu ada ikan duyung yang bodoh berenang dan terdampar di pantai. Itu aku Nora. Itu aku, lelaki bodoh yang berpura-pura seperti duyung yang tercekik air laut demi mendapatkan informasi ini.

TUAN RICHARD
Cepat katakan padaku apa sebenar-benarnya terjadi. Nora, cepat katakan di depan Hakim apa yang terjadi?

NORA NIU
Kami hanya bercanda.

TUAN RICHARD
Bajingan. Kau mulai lupa diri.

NORA NIU
Ingatanku masih segar bugar. Aku istrimu. Lebih muda jauh darimu.

TUAN RICHARD
Istri  macam apa yang berbuat kebejatan seperti itu? Istri macam apa?

NORA NIU
Istri yang tidak kau kenali lebih dahulu siapa sebenarnya perempuan yang dipanggil Niu ini sebelum kau ajak menikah.

TUAN RICHARD
Apa kau bilang?

NORA NIU
Tidak jelas?

TUAN RICHARD
Apa maksudmu?

NORA NIU
Kami hanya bercanda. Dan waktu itu cara bercanda kami ya seperti itu.

MANU
Kalau cara bercandanya seperti itu, Nora, kutu busuk yang bau garam ini mau bercanda seperti itu.

HAKIM
Cukup…! Kalian berdua [menunjuk ke arah Tuan Richard dan Manu] tak bersalah. Pulanglah. Jalanilah kehidupan seperti sediakala. Dan dia [menunjuk ke Nora Niu], buang perempuan binal ini ke penangkaran hiu. Lemparkan tubuhnya ke sana.

ESTHER
Lemparkan tubuhnya…!

PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Lemparkan tubuhnya jadi makanan hiu-hiu yang buas…!

Prajurit 1 dan Prajurit 2 menyeret Nora Niu. Hakim menikmati lagi buah yang tersaji dan minuman yang dituang oleh Esther.

HAKIM
Masih ada lagi?

ESTHER
Masih ada, tuan Hakim. Seorang gelandangan tua. Kali ini aku yang menghadapi problemanya. Kala itu gelap malam mulai turun dan kemudian keremangan mengepung seluruh kota, aku bersua dengan seorang gelandangan yang aneh, yang menenteng gitar kumuh. Dia bertanya apakah dia bisa memiliki tempat di hatiku. Namun sorot matanya damai tanpa birahi. Aneh. Saat itu bulan tersembul di langit bersih, karena asik menatap bulan, aku tidak tahu menghilang ke mana gelandangan itu.

HAKIM
Hmm, menarik. Terus apa yang jadi masalahnya.

ESTHER
Dia ingin memiliki tempat di hatiku. Aku sangat terganggu dengan ucapannya yang aneh. Namun aku juga ragu-ragu. Dia tidak berusaha menyakitiku. Semalam dia muncul lagi di depan rumahku menyanyikan sebuah lagu yang mengharukan. Aku berharap tuan memanggilnya dan mengadilinya agar terang siapa dia dan bermaksud apa.

HAKIM
Apa dia sudah ditangkap?

ESTHER
Sudah, pak Hakim.

HAKIM
Panggil dia!

ESTHER
Panggil dia!

PRAJURIT 1
Yang berikutnya. Seorang gelandangan.

PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Titah Hakim, bawa gelandangan itu masuk!

PRAJURIT 1 & PRAJURIT 2
Titah Hakim adalah segala-galanya.
[Prajurit 1 dan Prajurit 2 pergi dan menggiring masuk seorang gelandangan]

HAKIM
O, jadi dia ini, manusia busuk dan tak berguna yang memaksa untuk mendapatkan tempat di hati Esther? [mendekati Gelandangan] Kau tahu kau berada di mana? Kau tahu seberapa mudahnya eksekusi diputuskan dan dilakukan di tempat ini? Kau tahu? Kau tahu siapa sebenarnya Esther yang kau ganggu itu? Kau tahu? Jawab aku, anjing busuk!


GELANDANGAN
Kekuasan yang sebenarnya tidak kau pahami. Aku mengenal kalian sebelum kalian lahir. Aku mengenal Esther, permata tempat penjagalan ini. Aku mengenalmu, Saulus, jauh sebelum kau menjadi Hakim yang dikenal bengis. Aku mengenal semua hati manusia.
HAKIM
Kau pikir kau siapa? Belum pernah ada seekor cacing tanah pun yang begitu lancang bicara dan mendebat aku seperti ini. [tertawa sinis] Aku menikmatinya. Sudah lama aku tidak merasakan adrenalin yang mengalir deras, terpompa cepat, naik hingga ke ubun-ubunku seperti ini. Siapkan tali gantungan.
ESTHER
Siapkan gantungan!

PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Hanya manusia yang bertakdir tidak mulia saja yang akan berakhir di tiang gantungan. Jalankan titah Hakim.
PRAJURIT 1 & PRAJURIT 2
Titah Hakim adalah segala-galanya.
[Prajurit 1 dan Prajurit 2 pergi menyiapkan gantungan]

HAKIM
Bela dirimu, Gelandangan.

GELANDANGAN
Aku bukan siapa-siapa. Aku manusia sepi milik segala abad. Aku justru sering menghindari kerumunan dan kebisingan lalu memilih jalan yang sunyi. Sendirian di jalan sepi. Aku selalu ditolak orang-orang dan hidup sebagai gelandangan di jalan-jalan sepi. Ketika aku lapar, kamu tidak memberi aku makan. Ketika aku haus, kamu tidak memberi aku minum. Aku berusaha mengetuk-ngetuk pintu rumah yang kutemui demi mencari rumah tumpangan namun orang-orang sekarang penuh dengan egoisme. Mereka malah membanting pintu rumah dan mengusirku pergi. Tak ada yang tersentuh melihat seorang miskin dengan wajah pucat seperti aku ini. Aku telanjang, tak ada yang memberi aku baju. Ketika aku sakit, ketika aku terpenjara, tak ada yang datang mengunjungi aku. Aku telah melewati berbagai bentangan waktu dan prahara, namun jarang ada yang tergugah.

ESTHER
Lalu kau ini siapa?


GELANDANGAN
[menatap tajam ke Esther] Perempuan, akulah bayi yang sering kalian kenang. Akulah bayi yang diburu Herodes namun karena tidak berhasil menemukanku, akhirnya semua anak yang berumur dua tahun ke bawah dibantai habis di seluruh Betlehem dan sekitarnya.
Aku bertemu dengan perempuan ini dan bertanya apakah di hatinya ada sebuah ruang sebagai tempat bagiku. Dia pergi, memakiku, dan berlalu. Di depan rumahnya aku tidak mengetuk pintu rumahnya. Tidak. Aku hanya mengetuk pintu hatinya dengan sebuah nyanyian. Namun kalian menangkapku untuk diadili.

HAKIM
Kau ternyata coba main-main dengan urusan isi kepala. Eksistensi teologis, estetika bunyi, serta perihal esensi makna sastrawi. [tertawa mengejek] Perlukah aku menyebut sederet nama tenar agar kau tahu bahwa bukan hanya kau saja yang membaca buku-buku pengetahuan? Jangan sekali-kali menggangap enteng dan mencoba mempermainkanku saat membicarakan urusan isi kepala.

ESTHER
[mendekati Hakim dan membisikkan sesuatu]

HAKIM
Coba nyanyikan lagu itu. Agar aku bisa menyimak syair dan musiknya.

GELANDANGAN
Kalian mengenangku setiap tahun namun tidak mengenal siapa yang kalian kenang. Tanpa makna yang sejati.

PRAJURIT 1,  PRAJURIT 2, & PRAJURIT PENABUH
[mendekati Gelandangan dengan marah] Nyanyikan lagu itu.

GELANDANGAN
Jika hatimu tergugah, kalian akan mengenal siapa aku [menyanyikan sebuah lagu].
Esther memberikan aba-aba untuk tenang kepada Prajurit 1, Prajurit 2, dan Prajurit Penabuh. Perlahan seisi ruangan terhanyut oleh nyanyian gelandangan.

HAKIM
Ah, tidak. Tidak. Seorang Saulus yang dikenal banyak orang sebagai penguasa di tempat penjagalan ini tidak mungkin bisa dengan mudah diperdaya oleh tipuan murahan apalagi oleh seorang gelandangan yang tidak jelas juntrungannya. Gantung dia. Lalu gantung jasadnya di depan tempat penjagalan ini. Agar semua orang mengenang kejadian ini hingga berabad-abad lamanya bahwa keadilan tidak mudah dipermainkan. Gantung dia. Gantung dia.

GELANDANGAN
Cukup, Saulus! Jika kau ingin melihat kebenaran kata-kataku maka kau akan melihatnya sekarang juga siapa aku yang sebenarnya. Saat ini juga. Api…!

Tiba-tiba ada api yang menyala dan menyambar hingga di tiang pancung. Seisi ruangan ketakutan. Satu per satu berlutut di depannya dan mendesiskan kata, “Yesua”. Hakim yang angkuh hati jadi buta dan makin menjadi takut.

GELANDANGAN
Karena kau buta hati, Saulus, maka aku membutakan matamu. Agar kau tahu di depan siapa kau berdiri. Agar kau melihat siapa aku yang sebenarnya. Kau akan celik, jika kau benar-benar insaf dari perbuatanmu dan menerima aku di hatimu. Akulah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir.

HAKIM
Benar. Kaulah kebenaran itu sendiri. Tunas Ilahi yang paling mulia. Mata dari segala mata. Hati dari segala hati. Inti perayaan dari semua perayaan. Anak Manusia. Di situlah kau seharusnya duduk. Di tanganmulah penjagalan sesungguhnya pada hari penghakiman itu. Menjagal tingkah laku. Menjagal hati. Menjagal iman. Menegakkan kebenaran yang sejati.

GELANDANGAN
[menyalakan sebatang lilin] Nyalanlah terang di hatimu, seumpama terang lilin yang berpendaran di antara kegelapan. Kenanglah aku dan jadilah seperti aku. Jadilah terang dan benar hingga hari penghakiman itu tiba.
Orang-orang merangkak mendekati Gelandangan yang mulai menyanyi lagi. Mereka larut bersama lagu Sang Gelandangan tersebut.


---S E L E S A I---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar