Salah satu adegan saat dipentaskan |
Naskah drama yang dimainkan 10 orang dengan judul Getar Di
Penjagalan karya Ie Hadi G ini merupakan naskah religius Kristiani yang bisa dipentaskan di momentum Natal, Paskah, atau acara religius lainnya. Disarankan bagi yang tertarik mementaskan karya ini agar bisa menghubungi penulisnya terlebih dahulu. Semoga anda dapat terberkati dengan adanya naskah ini.
Dan jika anda terberkati dengan adanya naskah ini, maka alangkah bahagianya jika ikut memberkati penulisnya yang telah bersusah payah menulis dan membagi naskah di blog ini untuk bisa diakses secara mudah. Selamat menikmati dan Selamat membaca.
Dan jika anda terberkati dengan adanya naskah ini, maka alangkah bahagianya jika ikut memberkati penulisnya yang telah bersusah payah menulis dan membagi naskah di blog ini untuk bisa diakses secara mudah. Selamat menikmati dan Selamat membaca.
Getar Di Penjagalan karya Ie Hadi G
TOKOH-TOKOH:
HAKIM: Laki-laki. Dingin. Tegas.
Emosional. Sok berkuasa. Sok pintar. Dihormati. Memegang palu besar.
ESTHER: Perempuan. Berwibawa.
Tegas. Dihormati. Baju yang digunakan mirip sayap.
PRAJURIT 1: Laki-laki/perempuan.
Dingin. Kaku. Kostum prajurit yang menyeramkan.
PRAJURIT 2: Laki-laki/perempuan.
Dingin. Kaku. Kostum prajurit yang menyeramkan.
PRAJURIT PENABUH: Laki-laki/perempuan. Emosional. Kostum prajurit yang menyeramkan.
PENDETA: Perempuan. 50 tahun.
Sombong. Memandang rendah nilai kebenaran. Munafik.
MANU: Seorang lelaki 30
tahun yang bekerja sebagai nelayan pada Tuan Richard.
TUAN RICHARD: Pemilik usaha penangkapan ikan.
Mudah kasihan dan juga mudah marah.
NORA NIU: Perempuan. 20 tahun. Istri
Tuan Richard. Sombong. Bersikap lembut tapi munafik.
GELANDANGAN: Laki-laki. Baju lusuh. Sorot mata yang lembut dan damai.
SETTING:
Ruangan pengadilan dari sebuah negeri.
PLAY:
Tirai yang menutupi
ruang pengadilan perlahan terbuka. Seorang perempuan, Esther, berdiri di tengah
dan menari dengan lembut. Beberapa obor dan lilin menerangi ruangan.
Orang-orang lain lalu-lalang, sibuk menyiapkan acara persidangan. Tiang
gantungan dan sebuah tempat penjagalan menghiasi ruang itu. Sebuah kursi yang
bersayap berada di tengah, di dekatnya buah-buahan dan minuman berada di sebuah
meja kecil.
ESTHER
Peradilan akan segera dimulai. [Prajurit Penabuh mulai menabuh tabuhan pertanda persidangan akan
dimulai] Panggil mereka yang bersalah.
PRAJURIT 1
Yang pertama. Pendeta
di sebuah kuil peribadatan.
PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang
terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Masuk!
Prajurit 2 menggiring masuk Pendeta yang terikat rantai.
ESTHER
Hakim telah datang.
Peradilan bersiap…!
Prajurit 1, Prajurit 2,
dan Prajurit Penabuh mengangkat semua kain penutup barang-barang yang ada di
dalam ruangan. Hakim masuk dan duduk di atas kursi. Tabuhan berhenti ditabuh.
PENDETA
Tabea, Pak Hakim. Salam Damai. Semoga kau masih mengenalku.
Pak Hakim, aku diadukan orang-orang karena…
HAKIM
[Memberikan isyarat untuk diam] Sshhh…bacakan problemanya.
ESTHER
[Prajurit 2 menyerahkan sebuah gulungan untuk dibaca] Pendeta. 50 tahun. Pemimpin
peribadatan di sebuah kuil. Khotbah-khotbahnya sering tidak menyentuh esensi
ajaran. Padahal dia mendapat nafkah, mencari makan, menghidupi keluarganya dari
apa yang diucapkan di depan umat. Dengan kualitas ajaran yang teramat rendah
itupun, pendeta ini sering melanggar kebenaran. Menghkhianati ajaran yang suci.
Lalu para umat yang dengan lugu senantiasa berharap dan meminta petunjuk jalan
kebenaran darinya itu menjadi goyah iman. Mereka perlahan-lahan meninggalkan kesucian.
Menelantarkan kebenaran. Umat itu kini telah menjelma menjadi seperti
monster-monster yang binal dan serakah. Umat telah lebih mengutamakan nafsu
duniawi dan jauh daripada harapan kehidupan yang ilahiah.
HAKIM
Cukup…! Pendeta, apa
pembelaanmu?
PENDETA
Aku belajar semua kitab suci saat di akademi, pak Hakim. Aku
bisa mengukur semua kebenaran yang ada. Kebenaran bisa jadi kesalahan.
Kesalahan bisa jadi kebenaran. Dua sisi mata uang yang melekat dalam takdir
kemanusiaan kita. Aku masih manusia, pak Hakim. Kependetaanku hanyalah profesi,
yang tidak ada ubahnya dengan profesi lain, yang tidak pernah lepas dari
kesalahan. Kesalahan seorang pendeta itu adalah kesalahan yang manusiawi, pak
Hakim.
HAKIM
Cukup…! Penggal kepalanya.
ESTHER
Penggal kepalanya…!
PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya
pelengkap saja. Penggal kepalanya…!
PENDETA
Tunggu, pak Hakim. Kau mungkin lupa nilai pengampunan yang
tertera di kitab-kitab suci. Aku bisa berubah. Mungkin kita bisa mengaturnya
dan membicarakan hal ini secara baik-baik.
HAKIM
Cukup…! Penggal kepalanya. Cepat…!
ESTHER
Penggal kepalanya…!
PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya
pelengkap saja. Penggal kepalanya…!
Prajurit 1 dan Prajurit
2 menyeret Pendeta, yang dari sikap sombong mendadak histeris dan ketakutan.
Hakim tidak mempedulikan teriakan yang melolong minta ampun. Hakim malah dengan
santai menikmati buah yang tersaji dan minuman yang dituang oleh Esther.
Prajurit 1 memenggal kepala Pendeta. Prajurit 2 membawa pergi kepala yang
dipenggal.
HAKIM
Berikutnya…!
ESTHER
Berikutnya…!
PRAJURIT 1
Yang berikutnya. Seorang pengusaha penangkapan ikan, bersama
istri dan seorang pembantunya.
PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang
terutama. Yang selanjutnya hanya pelengkap saja. Bawa masuk!
Prajurit 2 menggiring
masuk Tuan Richard, Nora Niu, dan Manu
yang terikat rantai. Tuan Richard dan Manu sangat ketakutan. Sementara
Nora Niu dengan mata liar menatap seisi ruangan.
HAKIM
Bacakan inti problema
mereka.
ESTHER
Perempuan yang bernama
Nora Niu ini mengkhianati cinta Tuan Richard yang sangat tulus.
HAKIM
Perempuan, cinta, dan perselingkuhan.
Kasus menarik. Hei, kau, [menunjuk ke
Manu] ceritakan cepat apa yang terjadi.
MANU
Tuan Hakim, aku melihat mereka, Tuan. Sungguh mati, Tuan.
Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan kejadian itu. Barangkali mereka
tidak menaruh curiga saat aku sedang mengail dekat pantai. Hari waktu itu mulai
senja. Matahari mulai tenggelam. Aku penasaran dengan dua sosok yang saling
berkejaran di bibir pantai. Aku rasa heran. Anak siapa di hari yang mulai senja
itu masih berkeliaran di pantai. Aku putar haluan ke arah mereka. Perempuan
yang mengenakan baju cerah itu familiar di ingatanku. Aku pikir Tuan dan Nora.
Namun sosok lelaki yang sementara bersama Nora bukan seperti postur badan Tuan.
Aku mematikan mesin dari jauh lalu perlahan mendayung perahu
mendekati pantai. Kubuang jangkar agar perahu tidak terbawa arus. Setan laut, benar
mereka bukan anak-anak. Astaga. Aku turun dari perahu, Tuan. Berenang, berlagak
seperti ikan duyung. Tidak persis. Sial. Tapi lebih sialan lagi mereka berdua
yang terlalu asik sehingga tidak mempedulikan ada ikan duyung yang bodoh
berenang sementara mendekat dan mengamati mereka.
Sepuluh kali aku terminum air laut, Tuan. Tidak mengapa. Anggaplah
itu pengorbanan. Karena yang ada di otakku itu hanya hidup Tuan saja. Usahaku
yang mempertaruhkan jiwa dan raga tak berguna ini pada saat itu, aku pikir,
semata hanya demi tuan saja. Jikalau benar apa yang ada di pikiranku yang bodoh
ini terbukti maka astaga. Hujan di gunung, banjir di lembah. Di jarak yang
cukup dekat itu aku melihat mereka berdua saling senyum, cubit-cubitan,
kelitik-menggelitik, tertawa cekikikan, berpelukan, dan mereka…eee…lalu mereka,
tuan…eee…
NORA NIU
Dusta itu, pak Hakim.
HAKIM
Diam…!
TUAN RICHARD
[berbisik penuh harap] Teruskan.
MANU
[dengan wajah lesu dan
sedih] Tuan. Semua
orang tahu bahwa Tuan telah berbaik hati pada hidupku. Tuan berbelaskasihan
padaku. Sudah sejak umur 10 tahun aku membaktikan diri demi hidup Tuan.
Melayani Tuan. Tiap hari aku memperhatikan Tuan, kesukaan Tuan, yang ternyata
sangat menyukai ikan laut. Aku bertekad tiap hari pergi memancing ikan
semampunya. Semua demi Tuan. Hingga aku tahu cara mendayung, menjalankan mesin
perahu, menyeberangi teluk-teluk dan tanjung-tanjung baru demi mencari ikan.
Dan sejak saat itu aku menjadi seorang nelayan sejati yang membaktikan hidup
demi Tuan Richard. Perananku, aku tahu, sangat kecil bagi hidup Tuan. Mencari
ikan. Di kota ini, orang-orang tahu harus pergi ke mana untuk membeli ikan
segar. Aku merasa sudah seharusnya berbuat begitu kepada Tuan. Menyiarkan nama
harum Tuan ke mana saja aku pergi. Ke negeri-negeri baru. Aku senang melihat
Tuan yang dilayani dengan tulus ini dikenal banyak orang. Siapa yang tidak
mengenal Tuan Richard yang dermawan dan hartawan?
Suatu waktu kejantanan Tuan tergugah dan ingin menyunting
seorang gadis. Aku melihat Tuan murung tiap hari. Mirip kisah dogeng-dongeng.
Ikan kesukaan Tuan hanya jadi makanan anjing saja. Tuan tidak ingin
menyentuhnya sedikit pun. Aku menghimpun semua informasi. Baik kabar burung
maupun kabar bukan burung, mencari siapa perempuan yang mampu menaklukkan hati
Tuanku. Akhirnya aku mendapatkannya. Aku mendatangi rumahnya. Bertemu dengan
orang tuanya. Menyampaikan harapan Tuan. Mereka setuju. Gadis itu juga setuju.
Lalu Tuan hidup bahagia. Semua kulakukan demi Tuan.
Sampai malapetaka yang dibawa perempuan itu terjadi, aku
mencari kebenarannya seharga nyawaku. Itu semua demi Tuan. Dan kalau harus aku
menjadi saksi atas kejadian itu, aku tahu dengan jelas bahwa kesempatan
melayani Tuan akan segera berakhir.
Tuan, jika memang aku harus menjalani ini sekalipun
kehilangan Tuan aku rela. Perempuan itu tidak akan membiarkanku begitu saja.
Dia akan mengusirku jauh dari Tuan.
TUAN RICHARD
Manu….
NORA NIU
E…e…astaga, Manu. Kau ternyata kurang ajar. Tidak kusangka
api dalam sekam yang telah kau hamburkan lalu mulai menyala di kenyamanan rumah
tangga kami, di keteduhan hati tuanmu, lalu berujung di depan Hakim.
MANU
E…a…
NORA NIU
Mau bicara apa?
E…a…e…a… kau mau bilang apa?
MANU
Sungguh. Demi nama
siapa saja, aku melihat kejadian itu, Nora.
HAKIM
Diam. Bangsat-bangsat,
diam. Niu, katakan apa yang terjadi. Cepat.
NORA NIU
[berdehem dan berusaha
menguasai keadaan] Tuanku
Hakim dan suamiku Richard, aku tahu betul kelakuanmu yang sangat emosional
namun tetap memperhitungkan akal sehat atau logika. Jangan mudah percaya pada
apa yang orang lain katakan. Percaya pada apa yang matamu lihat dan apa yang
hatimu rasakan. Seperti saat kau melihatku pertama kali dan hatimu mulai
tersiksa setiap malam karena bayangan diriku menggoda mimpimu. Tanpa
kehadiranku hari-harimu yang ceria memudar tanpa arti. Apakah aku masih
seberharganya seperti itu dalam kehidupanmu, Richard? Ataukah kau mulai
termakan omong kosong Manu dan tidak lagi menghargai perjuanganmu dulu demi
mendapatkanku lalu mulai mengandalkan amarah yang tak terkendali serta
mengabaikan cinta kasihmu padaku? Jawab, Tuan Richard.
MANU
Aku melihatnya, Nora. Jika Nora kurang percaya, saat itu ada
ikan duyung yang bodoh berenang dan terdampar di pantai. Itu aku Nora. Itu aku,
lelaki bodoh yang berpura-pura seperti duyung yang tercekik air laut demi
mendapatkan informasi ini.
TUAN RICHARD
Cepat katakan padaku apa sebenar-benarnya terjadi. Nora,
cepat katakan di depan Hakim apa yang terjadi?
NORA NIU
Kami hanya bercanda.
TUAN RICHARD
Bajingan. Kau mulai
lupa diri.
NORA NIU
Ingatanku masih segar
bugar. Aku istrimu. Lebih muda jauh darimu.
TUAN RICHARD
Istri macam apa yang berbuat kebejatan seperti itu?
Istri macam apa?
NORA NIU
Istri yang tidak kau kenali lebih dahulu siapa sebenarnya
perempuan yang dipanggil Niu ini sebelum kau ajak menikah.
TUAN RICHARD
Apa kau bilang?
NORA NIU
Tidak jelas?
TUAN RICHARD
Apa maksudmu?
NORA NIU
Kami hanya bercanda.
Dan waktu itu cara bercanda kami ya seperti itu.
MANU
Kalau cara bercandanya seperti itu, Nora, kutu busuk yang bau
garam ini mau bercanda seperti itu.
HAKIM
Cukup…! Kalian berdua [menunjuk
ke arah Tuan Richard dan Manu] tak bersalah. Pulanglah. Jalanilah kehidupan
seperti sediakala. Dan dia [menunjuk ke
Nora Niu], buang perempuan binal
ini ke penangkaran hiu. Lemparkan tubuhnya ke sana.
ESTHER
Lemparkan tubuhnya…!
PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya
pelengkap saja. Lemparkan tubuhnya jadi makanan hiu-hiu yang buas…!
Prajurit 1 dan Prajurit
2 menyeret Nora Niu. Hakim menikmati lagi buah yang tersaji dan minuman yang
dituang oleh Esther.
HAKIM
Masih ada lagi?
ESTHER
Masih ada, tuan Hakim. Seorang gelandangan tua. Kali ini aku
yang menghadapi problemanya. Kala itu gelap malam mulai turun dan kemudian keremangan
mengepung seluruh kota, aku bersua dengan seorang gelandangan yang aneh, yang
menenteng gitar kumuh. Dia bertanya apakah dia bisa memiliki tempat di hatiku.
Namun sorot matanya damai tanpa birahi. Aneh. Saat itu bulan tersembul di
langit bersih, karena asik menatap bulan, aku tidak tahu menghilang ke mana
gelandangan itu.
HAKIM
Hmm, menarik. Terus apa yang jadi masalahnya.
ESTHER
Dia ingin memiliki tempat di hatiku. Aku sangat terganggu dengan
ucapannya yang aneh. Namun aku juga ragu-ragu. Dia tidak berusaha menyakitiku.
Semalam dia muncul lagi di depan rumahku menyanyikan sebuah lagu yang
mengharukan. Aku berharap tuan memanggilnya dan mengadilinya agar terang siapa
dia dan bermaksud apa.
HAKIM
Apa dia sudah
ditangkap?
ESTHER
Sudah, pak Hakim.
HAKIM
Panggil dia!
ESTHER
Panggil dia!
PRAJURIT 1
Yang berikutnya.
Seorang gelandangan.
PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang selanjutnya hanya
pelengkap saja. Titah Hakim, bawa gelandangan itu masuk!
PRAJURIT 1 & PRAJURIT 2
Titah Hakim adalah
segala-galanya.
[Prajurit 1 dan
Prajurit 2 pergi dan menggiring masuk seorang gelandangan]
HAKIM
O, jadi dia ini, manusia busuk dan tak berguna yang memaksa
untuk mendapatkan tempat di hati Esther? [mendekati
Gelandangan] Kau tahu kau berada di mana? Kau tahu seberapa mudahnya
eksekusi diputuskan dan dilakukan di tempat ini? Kau tahu? Kau tahu siapa
sebenarnya Esther yang kau ganggu itu? Kau tahu? Jawab aku, anjing busuk!
GELANDANGAN
Kekuasan yang sebenarnya tidak kau
pahami. Aku mengenal kalian sebelum kalian lahir. Aku mengenal Esther, permata
tempat penjagalan ini. Aku mengenalmu, Saulus, jauh sebelum kau menjadi Hakim
yang dikenal bengis. Aku mengenal semua hati manusia.
HAKIM
Kau pikir kau siapa? Belum pernah ada
seekor cacing tanah pun yang begitu lancang bicara dan mendebat aku seperti
ini. [tertawa sinis] Aku
menikmatinya. Sudah lama aku tidak merasakan adrenalin yang mengalir deras, terpompa
cepat, naik hingga ke ubun-ubunku seperti ini. Siapkan tali gantungan.
ESTHER
Siapkan gantungan!
PRAJURIT PENABUH
Keadilan adalah yang terutama. Yang
selanjutnya hanya pelengkap saja. Hanya manusia yang bertakdir tidak mulia saja
yang akan berakhir di tiang gantungan. Jalankan titah Hakim.
PRAJURIT 1 & PRAJURIT 2
Titah Hakim adalah
segala-galanya.
[Prajurit 1 dan
Prajurit 2 pergi menyiapkan gantungan]
HAKIM
Bela dirimu, Gelandangan.
GELANDANGAN
Aku bukan siapa-siapa. Aku manusia sepi milik segala abad. Aku
justru sering menghindari kerumunan dan kebisingan lalu memilih jalan yang
sunyi. Sendirian di jalan sepi. Aku selalu ditolak orang-orang dan hidup
sebagai gelandangan di jalan-jalan sepi. Ketika aku lapar, kamu tidak memberi
aku makan. Ketika aku haus, kamu tidak memberi aku minum. Aku berusaha
mengetuk-ngetuk pintu rumah yang kutemui demi mencari rumah tumpangan namun
orang-orang sekarang penuh dengan egoisme. Mereka malah membanting pintu rumah
dan mengusirku pergi. Tak ada yang tersentuh melihat seorang miskin dengan
wajah pucat seperti aku ini. Aku telanjang, tak ada yang memberi aku baju.
Ketika aku sakit, ketika aku terpenjara, tak ada yang datang mengunjungi aku.
Aku telah melewati berbagai bentangan waktu dan prahara, namun jarang ada yang
tergugah.
ESTHER
Lalu kau ini siapa?
GELANDANGAN
[menatap tajam ke
Esther] Perempuan,
akulah bayi yang sering kalian kenang. Akulah bayi yang diburu Herodes namun
karena tidak berhasil menemukanku, akhirnya semua anak yang berumur dua tahun
ke bawah dibantai habis di seluruh Betlehem dan sekitarnya.
Aku bertemu dengan perempuan ini dan bertanya apakah di
hatinya ada sebuah ruang sebagai tempat bagiku. Dia pergi, memakiku, dan
berlalu. Di depan rumahnya aku tidak mengetuk pintu rumahnya. Tidak. Aku hanya
mengetuk pintu hatinya dengan sebuah nyanyian. Namun kalian menangkapku untuk
diadili.
HAKIM
Kau ternyata coba main-main dengan urusan isi kepala.
Eksistensi teologis, estetika bunyi, serta perihal esensi makna sastrawi. [tertawa mengejek] Perlukah aku menyebut
sederet nama tenar agar kau tahu bahwa bukan hanya kau saja yang membaca
buku-buku pengetahuan? Jangan sekali-kali menggangap enteng dan mencoba
mempermainkanku saat membicarakan urusan isi kepala.
ESTHER
[mendekati Hakim dan membisikkan
sesuatu]
HAKIM
Coba nyanyikan lagu itu. Agar aku bisa menyimak syair dan
musiknya.
GELANDANGAN
Kalian mengenangku setiap tahun namun tidak mengenal siapa
yang kalian kenang. Tanpa makna yang sejati.
PRAJURIT 1, PRAJURIT 2, &
PRAJURIT PENABUH
[mendekati Gelandangan dengan marah] Nyanyikan lagu itu.
GELANDANGAN
Jika hatimu
tergugah, kalian akan mengenal siapa aku [menyanyikan
sebuah lagu].
Esther memberikan
aba-aba untuk tenang kepada Prajurit 1, Prajurit 2, dan Prajurit Penabuh. Perlahan
seisi ruangan terhanyut oleh nyanyian gelandangan.
HAKIM
Ah, tidak. Tidak. Seorang Saulus yang dikenal banyak orang
sebagai penguasa di tempat penjagalan ini tidak mungkin bisa dengan mudah
diperdaya oleh tipuan murahan apalagi oleh seorang gelandangan yang tidak jelas
juntrungannya. Gantung dia. Lalu gantung jasadnya di depan tempat penjagalan
ini. Agar semua orang mengenang kejadian ini hingga berabad-abad lamanya bahwa
keadilan tidak mudah dipermainkan. Gantung dia. Gantung dia.
GELANDANGAN
Cukup, Saulus! Jika kau ingin melihat kebenaran kata-kataku
maka kau akan melihatnya sekarang juga siapa aku yang sebenarnya. Saat ini
juga. Api…!
Tiba-tiba ada api yang
menyala dan menyambar hingga di tiang pancung. Seisi ruangan ketakutan. Satu
per satu berlutut di depannya dan mendesiskan kata, “Yesua”. Hakim yang angkuh
hati jadi buta dan makin menjadi takut.
GELANDANGAN
Karena kau buta hati, Saulus, maka aku membutakan matamu.
Agar kau tahu di depan siapa kau berdiri. Agar kau melihat siapa aku yang sebenarnya.
Kau akan celik, jika kau benar-benar insaf dari perbuatanmu dan menerima aku di
hatimu. Akulah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan
Yang Akhir.
HAKIM
Benar. Kaulah kebenaran itu sendiri. Tunas Ilahi yang paling
mulia. Mata dari segala mata. Hati dari segala hati. Inti perayaan dari semua
perayaan. Anak Manusia. Di situlah kau seharusnya duduk. Di tanganmulah
penjagalan sesungguhnya pada hari penghakiman itu. Menjagal tingkah laku.
Menjagal hati. Menjagal iman. Menegakkan kebenaran yang sejati.
GELANDANGAN
[menyalakan sebatang lilin]
Nyalanlah terang di
hatimu, seumpama terang lilin yang berpendaran di antara kegelapan. Kenanglah
aku dan jadilah seperti aku. Jadilah terang dan benar hingga hari penghakiman
itu tiba.
Orang-orang merangkak
mendekati Gelandangan yang mulai menyanyi lagi. Mereka larut bersama lagu Sang
Gelandangan tersebut.
---S E L E S A I---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar