Minggu, 22 September 2013

Pangkunang

Salah satu adegan dalam Pangkunang
Menempuh perjalanan Manado - Bitung yang sejauh 45 menit dengan sepeda motor Honda Beat terasa cukup melelahkan. Namun capek di jalan akibat jauhnya jarak tempuh yang seringkali berpapasan truk konteiner itu terbayar ketika tiba di Gedung Kesenian Bitung (GKB) demi menyaksikan teater garapan Sanggar Tangkasi Bitung (STB). Lega hatiku sewaktu pertunjukan teater Pangkunang yang dijadwalkan pukul 18.00 Wita, jadi molor akibat masih menunggu kedatangan seorang pejabat, yang kalau tidak salah namanya Benny Mamoto. Seingatku dia baru saja pensiun namun tetap dikawal sejumlah anggota kepolisian. Tapi aku kebetulan tidak sementara memusingkannya. Konsentrasiku lebih tertuju kepada pertunjukan yang akan berlangsung.

Pangkunang ini merupakan sebuah naskah karya Leonardo Axsel Galatang yang diangkat dari salah satu kisah yang berkembang di daerah Sangihe. Pertunjukan STB kali ini dihelat dalam dua hari, yaitu pada 20 dan 21 September 2013. Aku menonton pertunjukan pada hari kedua yang tepat jatuh pada hari Sabtu. Sutradaranya tidak tanggung-tanggung, langsung digawangi Servie 'Mori' Kamagi. Kami merupakan kawan baik. Dia dikenal sebagai Wakil Presiden STB.

Usai dibuka dengan doa, pertunjukan kemudian dimulai pada kisaran pukul 19.00 Wita. Ratusan penonton yang rata-rata merupakan peserta binaan STB serta para simpatisan yang memadati GKB seperti diberi aba-aba, serentak diam. Di deretan tempat dudukku ada Vicking Kaligis, Epiphani Pangkey, Nicolas Talanggai, Pratiwi Mokodompit, Santi Lestari, Praysje Rais, dan Fajar Gultom yang sebelumnya juga asik berbincang-bincang ikut diam. Kisah yang ditampilkan dalam pertunjukan ini sangat seru. Kisahnya menceritakan kehidupan seorang Ampuang (diperankan oleh Riccy N. F. Rorong) yang biadab. Dia memiliki kebiasaan melakukan sebuah ritual pemenggalan kepala gadis perawan saat purnama. Gadis perawan yang berhasil ditangkap oleh para anak buah Ampuang tersebut usai dipenggal, darahnya ditadah untuk diminum dan dibagikan kepada para peserta ritual.

Singkat cerita, Ampuang menangkap gadis yang merupakan adik dari dua pemuda gagah berani. Mereka berdua mencurigai adik gadis mereka yang hilang sewaktu mereka pergi melaut akibat perbuatan Ampuang. Bunyi tabuhan tagonggong yang bertalu-talu di seberang bukit menjadi penunjuk arah pencarian mereka. Tekad yang tidak kenal takut itu mereka lakukan usai memparipurnakan ilmu Empat Penjuru Mata Angin atas bantuan seorang sakti teman ayah mereka. Akhirnya mereka berhasil menggagalkan ritual biadab itu. Gadis korban sembelihan terbebaskan. Ampuang beserta para pengikut ditumpas habis.

Pertunjukan dengan durasi sekitar satu jam lebih yang disajikan di GKB tersebut luar biasa. Itu apresiasi paling utama. Kemudian yang jadi catatan atas pertunjukan ini antara lain:
- Masalah Pencahayaan. Hal ini sebenarnya menjadi masalah klasik kebanyakan pertunjukan teater di Sulawesi Utara. Pertunjukan Pangkunang ini tidak lepas dari masalah pencahayaan yang tidak menunjang akibat fasilitas yang juga kurang memadai. Alhasil, sebagian besar para aktor-aktris tidak berada dalam radius sorot lampu yang menunjang bisa penokohan.
- Masalah Garapan. Terlihat keraguan sutradara untuk menghadirkan garapan surealisme di antara klaim umum bahwa SKB memiliki aliran garapan realisme. Padahal menurut hematku yang tidak terlalu ahli dalam soal teater ini, garapan Pangkunang sangat cocok digarap secara surealisme. Ini akhirnya, sebagai misal, akan dapat mengakomodir koreografi yang terkesan 'tempelan' dan kehilangan benang merah dengan fragmen-fragmen sebelum dan sesudahnya.
- Masalah Penonton. Pertunjukan teater yang digelar STB belum mampu mencerdaskan penontonnya. Ini yang aku rasakan pada beberapa pertunjukan teater yang bisa diikuti. Adegan seorang tokoh yang larut dalam kesedihan dan seharusnya menggiring emosi penonton pada emosi yang sama, justru ditafsir penonton sebagai hal romantis akibat seorang gadis memeluk seorang pemuda yang terkapar mati. Ironis.

Menutup catatan sederhana ini, aku menghaturkan hormat yang sedalam-dalamnya kepada STB atas intensitas pertunjukan yang dilakukan selama ini yang bila dihitung hingga gelaran teater Pangkunang kali ini sudah mencapai produksi yang ke-97. Sebuah angka yang fantastis. Jayalah Peradaban...!!!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar