Kawan, sudah sejak peradaban bumi ini dimulai, perang melawan dehumanisasi ikut berkobar. Telah cukup lama. Lalu apakah kita akan menyebut perang yang sekarang ini adalah awal dari pertempuran ataukah lanjutan dari yang tlah menyala ? Kita tetap bagian yang terkecil dari kemakroan perjuangan. Di sini memang ada tulisan yang kemudian dikitabkan, namun di sana juga bertebaran kepingan kata-kata pengisi peradaban. Di sini kita mengucapkan perang, di sana juga telah terdengung sorakan dan desing peluru. Seumpama kita sekarang, mereka juga tlah menebas.
Pola diskursus publik semakin menjalar, meragukan kerja masa lampau. Mencurigai cerita masa silam, apakah benar pernah terjadi suatu desis? Sejak bumi ini berkenalan dengan berbagai penemuan media suara, pencetak kata, serta berbagai barisan benda yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi, manusia semakin mengagungkan kehebatan masanya. Bila demikian, kita semakin terhantar pada satu tepian ketidaktahuan sejarah. Sejarah bukanlah semata yang pernah tercatat dalam lempengan-lempengan kayu atapun kertas, tapi juga yang tersimpan di angin.
Aku secara pribadi makin tak tahu apa yang disebut sebagai neoliberalisme, kapitalisme, dan isme-isme yang lainnya. Namun aku makin tahu dan mengenal jiwa bangsaku yang kian tertelan sistem, sampai orang-orang dari nusa-nusaku sendiri makin tak mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Yang kuketahui :
Samper tlah selesai dinyanyi
Namun bangsaku tak ada yang mempedulinya
Selain aku, tak akan ada yang bakal datang
Menghampiri keterasingannya.
Skarang, akupun tengah berperang. Seperti Porodisa mengacungkan pando sampai Spanyol terbirit-birit, seperti Makaampo yang datangkan hujan darah dan bumi gemetaran, seperti kuatnya Onding yang melajukan perahu ke mil-mil yang jauh dalam sekali dayung, dan seperti Ghenggona Narangi restui kilatan pedangku. Aku juga sudah sementara berperang. Dalam Pasal-pasal Kitab “raung angin” kau mungkin akan bisa membacanya sebagian.
Manaro, duampuro su apparele dua riwu lima
IE HADI G
Keagungan masa lalu masih tersimpan di jantungku
Dan upung-upungku yang mengajak aku menziarahinya
Pola diskursus publik semakin menjalar, meragukan kerja masa lampau. Mencurigai cerita masa silam, apakah benar pernah terjadi suatu desis? Sejak bumi ini berkenalan dengan berbagai penemuan media suara, pencetak kata, serta berbagai barisan benda yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi, manusia semakin mengagungkan kehebatan masanya. Bila demikian, kita semakin terhantar pada satu tepian ketidaktahuan sejarah. Sejarah bukanlah semata yang pernah tercatat dalam lempengan-lempengan kayu atapun kertas, tapi juga yang tersimpan di angin.
Aku secara pribadi makin tak tahu apa yang disebut sebagai neoliberalisme, kapitalisme, dan isme-isme yang lainnya. Namun aku makin tahu dan mengenal jiwa bangsaku yang kian tertelan sistem, sampai orang-orang dari nusa-nusaku sendiri makin tak mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Yang kuketahui :
Samper tlah selesai dinyanyi
Namun bangsaku tak ada yang mempedulinya
Selain aku, tak akan ada yang bakal datang
Menghampiri keterasingannya.
Skarang, akupun tengah berperang. Seperti Porodisa mengacungkan pando sampai Spanyol terbirit-birit, seperti Makaampo yang datangkan hujan darah dan bumi gemetaran, seperti kuatnya Onding yang melajukan perahu ke mil-mil yang jauh dalam sekali dayung, dan seperti Ghenggona Narangi restui kilatan pedangku. Aku juga sudah sementara berperang. Dalam Pasal-pasal Kitab “raung angin” kau mungkin akan bisa membacanya sebagian.
Manaro, duampuro su apparele dua riwu lima
IE HADI G
Keagungan masa lalu masih tersimpan di jantungku
Dan upung-upungku yang mengajak aku menziarahinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar