Jumat, 21 September 2012

Asal-usul Kota Manado


Buku dengan judul "Kabar Baik dari Pesisir, Sejarah GMIM Wilayah Manado Utara II" yang ditulis Iverdixon Tinungki mengulas risalah tentang sejarah Kota Manado, berangkat dari sebuah artikel yang diposkan uBlog berjudul “Manado Dalam Peta Dunia” yang memaparkan betapa pentingnya kedudukan pesisir Utara Manado dan muara Kali Tondado di pantai Sindulang sejak abad XVI.
Kapal-kapal Spanyol dan Portugis memasuki kawasan ini sejak tahun 1521, dalam perjalanan dagang sekaligus penguasaan wilayah sentra-sentra ekonomi. Musafir Barat itu awalnya datang untuk kepentingan perdagangan barter berupa beras, dammar, ikan, garam, dan hasil hutan lainnya, tapi kemudian memacak kekuasaan di daerah yang baru mereka tumukan ini. Mereka mengambarkan penduduk kawasan ini adalah kaum “alifuru’ dari pedalaman Minahasa yang tanahnya subur dan pandai bercocok tanam, serta orang-orang dari kepulauan Singihe Talaud yang animis, dan pedagang Cina yang telah membaur dan berasimilasi dengan masyarakat setempat.

Sebuah penegasan tentang pentingnya kedudukan dan pengaruh kawasan ini dalam percaturan ekonomi dunia waktu itu, dilakukan oleh seorang ahli peta dunia Nicolas Desliens pada tahun 1541 yang mencantumkan nama Manado dalam peta dunia. Ia mengambarkan masyarakat yang mendiami pesisir Manado yang pluralistik selain para pribumi dari Minahasa dan Sangihe Talaud, orang-orang Ternate, juga terjadi asimilasi dengan para pendatang hingga ditemukan selain orang-orang Cina dan keturunananya, juga masyarakat turunan Spanyol, Portugis dan Belanda. Manado dengan kedudukan Bandar di Pantai Sindulang disebut sebagai pusat niaga bagi pedagang Cina yang memasarkan Kopi ke daratan Cina.

Mata pencaharian penduduk setempat ketika itu mayoritas adalah bertani dan nelayan. Sultan Hairun dari kesultanan Ternate ketika itu telah mengklaim dimana Manado adalah fazal ekonomi kesultanannya sejak lama bersama-sama dengan beberapa kerajaan di Sangihe Talaud, karena berlimpahnya kekayaan hasil bumi daerah ini.

Sebelum masuknya Spanyol dan Portugis, gelombang urbanisasi kekawasan ini diperkirakan cukup pesat dan intensif sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu terutama pada masa kerajaan Majapahit 1364 (Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,11). Keadaan penduduk terus berkembang pada abad-abad berikutnya sebagai dampak dari kian ramainya aktivitas perdangan di Manado. Menurut catatan N. Graafland, gelombang urbanisasi besar-besaran orang-orang Sangihe Talaud ke kawasan kewedanaan Manado terjadi hingga awal abad XIX. Perahu Kora-kora dan Tumbilung yang berasal dari kepulauan Sangihe Talaud terlihat datang dan pergi sepanjang waktu dan menambat di muara sungai Manado (Muara Kali Tondano). Ada yang juga berlabuh di dermaga utama kewedanaan Manado yang selesai dibangun tahun 1859 ( N. Graafland, 1991,16).

Tentang orang-orang Sangihe Talaud di pesisir Manado Utara sejak saman purba menurut Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen dalam buku mereka yang berjudul “Silsilas/Tarsilas (Genealogies) and Historical Narratives in Saranggani Bay and Davao Gulf Regions, South Mindanao, Philippines, and Sangihe-Talaud Islands, North Sulawesi, Indonesia” adalah keturunan seorang Kulano dari Cotabato Mindanauw sekarang Filipina pada tahun 800-san Masehi.

Dikisahkan sebuah kerajaan suku bangsa negrito yang dipimpin oleh seorang Kulano (raja diserang oleh suku bangsa Mongolia, akan tetapi seorang anak raja yang bernama Humansadulage beristeri Tendensehiwu berhasil meloloskan diri beserta para pengikutnya antara lain Batahasulu atau Manderesulu orang sakti kerajaan yang memiliki papehe (ikat pinggang dengan ukuran satu jengkal), lenso (saputangan), dan paporong (ikat kepala). Dengan melemparkan ikat pinggang berukuran satu jengkal kelaut yang kemudian menjelmah menjadi Dumalombang atau ular naga besar. Dumalombang membawa mereka ke Selatan lalu tiba di daerah Molibagu. Ditempat ini mereka berkabung sambil menangis selama empat puluh hari empat puluh malam. kemudian mereka berikhar menjadi suku bangsa yang baru yaitu Suku Bangsa Sangihe. 

Setelah masa perkabungan berakhir mereka hidup menetap di hutan yang terletak di sebuah puncak bukit lalu mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Wowontehu/Bowontehu. Bowontehu berasal dari bahasa Sangihe yaitu Bowong artinya atas dan Kehu artinya hutan. Jadi Bowontehu adalah kerajaan yang terletak diatas hutan. Humansadulage sebagai Kulano (Datu/Raja) dan Tenden Sehiwu sebagai Boki (Permaisuri). Humassadulage dan Tenden Sehiwu memperanakkan Budulangi. Budulangi bersiteri Putri Ting yang berasal dari khayangan. Budulangi dan Putri Ting memiliki seorang anak perempuan yang bernama Toumatiti. Toumatiti hamil dari seorang Pangeran yang datang dalam mimpinya, Maka lahirlah seorang putra diberi nama Mokodaluduh atau Mokoduludud Versi Bolmong. Mokodaluduh yang artinya Pangeran dari khayangan. Mokodaluduh menikah dengan Bania/Baunia yang keluar dari buluh tipis kuning ditemukan dihutan oleh pasangan suami istri yaitu Sanaria dan Amaria lalu dipelihara.

Pada suatu ketika tahun 1000-an Masehi terjadi pergolakan perang di sana-sini sehingga Mokodaluduh beserta para pengikut yang setia meninggal Molibagu lalu tiba di Pasang Bentenan. Bentenan berasal dari kata Bentengang, bahasa Sangir yang berarti “angkat bersama, perjuangan bersama,membawah beban berat oleh beberapa orang". Di tempat ini mereka tinggal tidak lama sebab diserang oleh Suku Mori utara teluk Tomini, Laloda dan Mangindanouw. Kemudian Mokodaludhu dan rombongan mengungsi lalu tiba di Pulisang. Pulisang berasal dari bahasa sangir yaitu kata Pelisang yang bearti terhindar dari musuh, tidak ketemu musuh. Rombongan membentuk sebuah formasi barisan pasukan berangkat menuju ke arah sebuah gunung, mereka berjalan mengintari (belitan) gunung lalu tempat itu diberi nama Gunung Lokong berarti (mengintari, mengelilingi, mengerumuni, menutupi) sekarang disebut Lokon. Mokodaluduh dan Baunia serta rombongan tinggal ditempat ini dan Baunia melahirkan seorang anak laki-laki lalu diberi nama Lokongbanua. 

Kemudian Mokodaluduh ingin mencari tempat seperti pasang Bentenan yaitu tempat berangkatnya perahu-perahu lalu tiba di pulau Manarauw (Manado Tua). Kata Manarou berasal dari bahasa Sangir yaitu Mararau; Marau yang artinya Jauh. Mokodaluduh bersama rombongannya membangun kembali kerajaan Bowontehu dengan pusat pulau Manarouw dengan gelar Kulano.

Di Manarouw ini Mokodaluduh dan Baunia dikaruniai lagi anak yang bernama, Jayubangkai, Uringsangiang dan Sinangiang. Penduduk kerajaan ini berkembang bertambah banyak sehingga sebagian mendiami daerah bagian utara dataran pulau Sulawesi yaitu Gahenang/Mahenang nama kuno untuk Wenang berasal dari bahasa Sangir Tua yaitu artinya api yang menyala/ bercahaya/ bersinar (suluh, obor, api unggun). Perpindahan dilakukan dengan menggunakan perahu (Bininta), melalui tempat yang bernama Tumumpa berasal dari bahasa Sangir yang artinya turun sambil melompat,kemudian menetap di Singkil berasal dari bahasa sangir Singkile artinya pindah atau menyingkir.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar