Selasa, 15 Oktober 2013

Bertemu Curex Saat Mengiring Nyanyian Angsa Di Bali

Saat Terima Hadiah Juara 2 Lomba Teater Balai Bahasa 2013
Tepat seminggu di Bali aku mendapat banyak kesan yang luar biasa. Ke sana itu sejak tanggal 7 hingga tanggal 13 Oktober 2013 demi mendampingi SMK Negeri 4 Manado mengikuti lomba teater dengan tajuk Equilibrium Theater Competition (ETeC) 5th yang dihelat Fakultas Ekonomi Udayana Bali. Hatiku rasanya larut dalam keeksotisan pulau dewata ini. Pada kompetisi ini pementasan Nyanyian Angsa karya Anton Chekhov yang ditampilkan oleh sekolah yang aku dampingi tidak mendapat hasil yang maksimal. Kecewa memang. Tapi lepas dari kegagalan meraih hasil yang maksimal, kejadian ini justru mampu memberikan hikmah tersendiri bagi diriku sendiri.
Aku memutuskan untuk belajar banyak dari kegagalan ini. Sekalipun dalam uji coba lomba yang digelar oleh Balai Bahasa pada 3 Oktober kemarin telah mampu meraih juara 2, namun belum menjadi pegangan untuk lomba tingkat nasional. Sekalipun pementasan Nyanyian Angsa itu telah berhasil menghipnotis penonton, panitia pelaksana, dan juga wartawan di ajang ETeC 5th tetapi hal itu ternyata tidak menjadi acuan penilaian para juri yang lebih mengandalkan subjektifitas. Begitulah seni dinilai. Tragis memang. Tetapi memang seni hanya bisa dinilai secara subjektifitas.

Bertemu Curex, sutradara kondang Teater 108 yang berkarir di Bali, ikut menguatkan argumen di atas. "Lomba seni hanya bisa dinilai sesuai selera juri. Subjektif", ujar lelaki berambut panjang yang pernah bertemu saat sama-sama mendampingi peserta lomba monolog di ajang Peksiminas 2012 di Mataram lalu. Berbincang-bincang dengan Curex memang hanya beberapa saat namun mampu memberi penyegaran yang besar pada semangat berkesenianku. Dari hasil pembicaraanku dengannya, aku menyimpan beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam penggarapan teater, antara lain:

1. Artikulasi aktor yang harus jelas. Menurutnya semua ucapan atau dialog harus benar-benar jelas diucapkan atau diartikulasikan oleh aktor. "Aku menyuruh aktorku untuk tidak jenuh-jenuh melatih dialognya disertai gerak mulut yang jelas", ucapnya. Memang kebanyakan aktor sering mengabaikan kejelasan artikulasi terutama di akhir kata pada akhir kalimat, sambungku.

2. Aktor harus menikmati perannya. Jika sang aktor tidak menikmati peran yang tengah dilakoninya akan sangat terasa ke penonton. Penonton pasti ikut merasa tidak menikmati pemeranan yang dijalaninya. Aku ingat lagi, garapanku yang sering lalai membuat aktor untuk bisa to be dengan karakternya sehingga mempengaruhi nikmat tidaknya pemeranan.

3. Aktor harus memainkan tempo dan irama. Tempo seorang aktor dalam dialog, gestur, atau blocking biasanya dipengaruhi irama yang tengah dimainkan. Apakah sudah sesuai akting sang aktor yang tengah dimainkan dengan jenis-jenis irama tertentu seperti Jazz, Blues, dan irama yang lain.

4. Sutradara jangan seenaknya memperkosa naskah drama. Aku ingat di Manado banyak sutradara yang sering kali dengan seenaknya memperkosa karya drama. Ada bagian yang ditambahkan teks dengan seenaknya sekalipun sutradara tersebut tahu dengan baik bahwa drama tersebut bukan karyanya. Ada sutradara tertentu yang memangkas adegan-adegan tertentu sesuka hati. Malah ada yang semau jidatnya mengubah teks dalam sebuah drama yang bukan karyanya dan disesuaikan berdasarkan keinginannya. Kemudian sutradara yang telah sok penulis drama ini berkoar-koar, "Ini naskah yang yang diadaptasi". Curex mengingatkanku agar sebagai sutradara tidak memperlakukan seenaknya drama yang tengah digarap. "Naskah bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Itu karya orang lain. Sutradara silahkan mendalami drama yang dihadapi dengan mempelajari apa yang diinginkan penulis drama. Harus ada kajian sosialogis, psikologis, dan lain sebagainya", jelasnya.

Tulisanku ini semoga bukan semata catatan yang mengabadikan kejadian tetapi mampu dipetik maknanya oleh para pembaca sekalian.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar