Minggu, 20 Oktober 2013

Lomba Seni Gerejawi Kian Berantakan | Sebuah Catatan Pelaksanaan Pesta Seni Remaja GMIM 2013

Ada yang terus menggelitik perasaanku bila merenungkan masalah masa depan kesenian gerejawi akan seperti apa nantinya. Yang aku bicarakan di sini tentu merujuk ke wilayah geografis Sulawesi Utara (Sulut). Kesenian gerejawi di daerah ini bertumbuh selain melalui panduan liturgis dalam seremoni-seremoni peribadatan juga terstimulus dengan adanya pelaksanaan lomba di beberapa bidang, seperti Paduan Suara, Vokal Grup, Tarian Kreatif, Musik Band, Teater, Bintang Vokalia, serta Baca Mazmur - Kidung Agung. Bicara kekristenan di Sulut yang paling aktif melaksanakan lomba jelas harus mengacu ke denominasi gereja terbesar; Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Komisi Remaja dan Komisi Pemuda Sinode GMIM adalah komisi yang paling sering menghelat lomba setiap tahunnya. Kalau tidak salah ingat nama lombanya, yang satunya Pesta Seni Remaja (PSR) untuk kategori remaja dan satunya lagi Festival Seni Pemuda Gerejawi (FSPG) untuk kategori pemuda.
Aneh bin ajaib jika membicarakan lomba-lomba Sinode GMIM ini. Untuk lebih fokus, lantaran tangkai lomba yang lebih aku amati hanya dua, yaitu tangkai lomba Baca Mazmur - Kidung Agung dan tangkai lomba Teater, maka aku hanya ingin membicarakan dua bidang itu saja.

Lomba Teater
Bidang ini selalu saja menyisahkan polemik di akhir pelaksanaannya. Contoh kasus yang paling segar diambil dari pelaksanaan PSR 2013, tepatnya 29-30 Agustus, di GMIM Sion Ranomuut Manado. Juri waktu itu Frangky Supit, Deisy Mewengkang, dan Ventje Mait. Hasil lomba jelas tidak lepas dari peran para juri yang mengganjarkan juara I kepada peserta dari GMIM Tasik Genesaret Sindulang. Juara II dari GMIM Zebaoth Wanea dan juara III dari GMIM Getsemani Sario Kota Baru.

Pengamatanku, kekurangan lomba ini dimulai dari masalah ketidaktahuan panitia mengorganisir lomba teater, lalu masalah penentuan juri, juga masalah technical meeting yang tidak dihadiri para juri dan enggan dibahas panitia. Konon techinical meeting lomba seni di Sulut memang jarang dihadiri juri. Sehingga akumulasi dari kekuarangan tersebut mengakibatkan tidak jelasnya kriteria penilaian dalam lomba. Lanjutan akibat ketidakjelasan kriteria penilaian  tersebut menghasilkan debat dan kericuhan antar peserta, peserta dengan juri, peserta dengan penonton, penonton dengan juri, dan penonton dengan penonton.

Lomba Baca Mazmur - Kidung Agung
Mengambil contoh kasus yang sama dari pelaksanaan lomba PSR 2013 ini, tangkai lomba Baca Mazmur - Kidung Agung lebih berantakan. Mungkin saja aku bisa dengan angkuh mengklaim bahwa nyaris tidak ada juri yang kompeten menilai lomba yang dibagi kategori umur 12-14 tahun dan 15-17 tahun ini. Umpama suara, suaraku lebih tinggi mengkritik lomba satu ini. Pernah aku menulis kegelisahanku di grup Theater Club Manado yang diposting tanggal 3 Agustus 2012, pukul 0:26 Wita. Tulisannya dikutip lengkap sebagai berikut:

"Saya sangat menyayangkan lomba Baca Mazmur yang digelar tiap tahun oleh salah satu denominasi gereja terbesar di Sulut kian jauh dari esensi makna 'Mazmur' itu sendiri. Pembabibutaan pada kitab Zabur ini jelas ahistoris. Betapa tidak, baca Mazmur, dalam lomba itu, dibaca dengan cara yang tak ubahnya membaca puisi (lebih memiriskan kalau dibawakan seperti gaya berpidato). Parahnya lagi, para seniman yang ditempatkan sebagai juri selama ini tidak mampu memberikan pencerahan akibat tidak punya latar belakang dan korelasi praktis kesenian yang jelas sehingga hanya menambah panjang daftar ketersesatan seni gerejawi. Di ranah kesenian Sulut, kita punya tugas pencerahan yang makin berat".

Para juri tidak tahu-menahu apa yang harus dinilai pada lomba ini; sekalipun dia seorang sarjana teologi sekalipun. Apakah akan menilainya seperti lomba baca puisi atau seperti apa. Berantakan. Fatal.

Juri Wajib Berkualifikasi
Inilah kebutuhan yang paling mendesak dari berantakannya lomba seni gerejawi yaitu mencari juri yang berkualifikasi di bidang lomba yang digelar. Dengan menempatkan juri yang tepat, lomba seni gerejawi seperti yang digelar GMIM niscaya bakal berbuah positif.

Juri seperti apa yang bisa memenuhi kualifikasi yang tepat? Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan juri, yakni apakah dia seorang praktisi, apakah dia seorang akademisi, dan apakah dia seorang kritikus. Sederhananya, lazim dalam lomba ditempat 3 orang juri. Para juri tersebut harus bisa satu per satu merepresentasikan praktisi, akademisi, dan kritikus. Tiga unsur representasi juri tersebut wajib ada. Teknis penilaian akan segera tuntas apabila menghadirkan juri yang merepresentasikan keterwakilan 3 unsur tersebut. Bagaimana bisa menilai teks Naskah Terbaik bila tidak menggabungkan kemampuan juri yang berasal dari praktisi, akademisi, dan kritikus. Masing-masing menilai sesuai sudut pandang posisi masing-masing.

Lain kesempatan aku akan menulis khusus tentang masalah juri. Semoga tulisan ini berguna bagi pembaca sekalian.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar