Aku saat uji coba panggung di Jambi |
Pada 15 Juni 2013 yang silam, aku pernah pentas bersama sejumlah seniman yang tergabung dalam Tim Taman Budaya Manado, di Jambi, dalam acara Temu Karya Taman Budaya. Dengan mengangkat tema Pergelaran Seni Tradisional, kegiatan yang jadi ajang mempertemukan semua kesenian tradisional dari berbagai daerah di Indonesia ini sungguh menarik perhatian.
Tim Taman Budaya Manado kala itu menampilkan kolaborasi pembacaan puisi modern, Sasambo, musik Tagonggong, dengan ritual Potong Tamo, yang menjadi budaya khas etnis Sangihe. Video Pentas Temu Karya Taman Budaya di Jambi tahun 2013 itu dapat ditonton di YouTube melalui link di sini. Waktu itu, aku berperan sebagai pembaca puisi, yang membawakan karya Iverdixon Tinungki berjudul Sambo Ghenggona. Ada beberapa alat musik Bambu yang dihadirkan dan memberikan sentuhan musik latar yang apik. Ada juga tarian Gunde yang ikut ditampilkan dalam kolaborasi ini.
Saat melakukan persiapan sehari sebelum pentas di Jambi itu, aku agak cemas di penginapan. Pasalnya, dari dua kali eksperimen pertunjukan di Taman Budaya Manado, leherku selalu seperti rasa tercekik waktu mengisi ruang-ruang estetis di antara lantunan Sasambo yang dibawakan Empo, pesambo Sangihe yang berdomisili di Manado. Ada yang aneh. Begitu firasatku berkata. Sebagai pembaca puisi, keadaan seperti itu belum pernah dialami sebelumnya.
Malam hari, aku mengadu ke Bu' Empo, sapaan akrab pesambo itu. Dia justru meledak tertawa saat itu. Dia bilang, "Kenapa tidak bilang dari Manado?"
"Memangnya kenapa?"
"Oh, dikira kau berisi."
"Berisi apa?"
"Berilmu," ujarnya sambil senyum.
Bu' Empo lalu menganjurkan aku menulis sepenggal mantra untuk dibacakan sebelum turun pentas. Dia bilang, itu berguna untuk menyeimbangkan kekuatan magis yang ada pada dirinya. Sebagai orang yang mempelajari budaya tradisional, aku patuh pada hal-hal seperti itu.
Waktu pentas, terbukti khasiatnya. Rasa yang mencekik leher tidak ada sama sekali. Namun, Bu' Empo sendiri, saat performance, dia cerita padaku hampir stance. Ada bayang hitam besar yang mengintainya dan berusaha menggagalkan pertunjukan. Pisau yang dipakai untuk Potong Tamo, patah.
Pengalaman pentas seni tradisional seperti ini benar-benar memberikan banyak pelajaran yang berarti bagiku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar