Benny Matindas |
GERAKAN patriotik Merah-Putih yang mengkudeta kekuasaan kolonial di Sulawesi Utara pada 14 Februari 1946 sungguh sebuah tonggak sejarah kebangsaan Indonesia yang sangat penting dan dengan dampak sangat strategis bagi perjuangan kemerdekaan republik ini. Tapi sayang, secara historiografis ia terlalu sering dinilai di bawah nilai seharusnya. Nyaris selamanya terdepresiasi. Bahkan banyak buku pelajaran sejarah nasional Indonesia tak mencatatnya setitik pun. Versi termutakhir sejarah nasional Indonesia, Indonesia dalam Arus Sejarah (2012), 9 jilid, yang kendati penulisannya melibatkan beberapa sejarawan asal Sulut (seperti Prof. A.B. Lapian) yang bahkan pula memiliki latar belakang kedekatan dengan para pelaku Peristiwa Merah Putih 14 Februari, pun ternyata cuma mencatatkan beberapa kalimat [dalam Jilid 6] mengenai perjuangan monumental ini.
Padahal peristiwa yang beritanya menggema sampai di media massa Australia, Amerika dan Inggris itu adalah satu-satunya gerakan perlawanan nasional Indonesia terhadap kolonialisme yang berhasil dalam arti sampai bisa mengambil alih kekuasaan resmi. Pemimpin tentara Sekutu yang bermarkas di Makassar dan Morotai sampai mengeluarkan pernyataan yang dapat diartikan bahwa dia sudah memandang kekuasaan di Sulawesi Utara yang dipimpin B.W. Lapian itu sebagai sebuah negara berdaulat! Presiden Sukarno di Jogja, saat mendengar Radio AFP Australia yang memberitakan kejadian di Tanah Minahasa itu, sampai berkaca-kaca matanya sangat terharu dan sukacita. Bung Karno kemudian mengatakan: “Minahasa, walaupun daerah terkecil dan terpencil di wilayah RI, namun putra-putranya telah memperlihatkan kesatriaannya terhadap panggilan Ibu Pertiwi!”
Penyebab Depresiasi
Mengapa Peristiwa 14 Februari 1946 di Sulut itu mengalami depresiasi atau mendapat penilaian tak proporsional? Penyebabnya ada beberapa, termasuk yang berlatar politis, tetapi sebab yang terbesar adalah kekeliruan hermeneutis dalam tafsir sejarah. Itulah yang perlu dibongkar, didekonstruksi! Kekeliruan yang terjadi itu ialah: para sejarawan, dan kemudian dituruti para politisi dan pemerintah, memandang peristiwa yang terjadi di Indonesia Timur itu dengan perspektif sejarah era yang sama di Indonesia Barat dan lebih khusus lagi Jawa. Kecondongan yang salah itu mudah dimaklumi, karena sejarah Indonesia modern memang berpusat di Jawa. Sejarah perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) memang berpusat di Jawa, karena pimpinan negara yang baru merdeka dan hendak dipertahankan eksistensinya itu berada di Jawa. Sehingga, peristiwa di Sulut itu jadi terkesan kecil dibanding sederet peristiwa besar di Jawa, jika menggunakan perspektif kondisi di Jawa.
Distingsi antara kondisi di Indonesia barat dan timur pada masa awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan (Oktober 1945 – Maret 1946) itu tidak boleh tidak harus diperhatikan dalam penyusunan sejarah. Karena memang sangat berbeda, bahkan bertolak belakang.
Di Indonesia Barat, tentara Sekutu sedari awal sering berpihak pada RI dan bahkan sebaliknya membatasi gerak Belanda. Pemimpin tentara Sekutu untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Singapura, Admiral Lord Louis Mountbatten, memang memerintahkan wakilnya di Indonesia, Letjen Sir Phillips Christison, untuk melarang kehadiran pasukan Belanda di Indonesia Barat. Bahkan para jenderal asal Inggris itu sempat mempersenjatai tentara RI dengan hampir 2000 pucuk senjata — dalam rangka pengamanan misi Sekutu membereskan tentara Jepang dan pembebasan tawanan. Lord Mountbatten pula yang terus memaksa pemimpin pemerintahan kolonial Belanda Dr.Hubertus Johannes van Mook untuk harus duduk berunding dengan pihak RI sebagai bangsa yang eksis dan berhak merdeka.
Sedang di Indonesia Timur sebaliknya. Pasukan Sekutu yang menduduki wilayah timur adalah dari Angkatan Perang Australia. Setelah hanya singkat wilayah Sulawesi dipimpin Brigjen Iwan Dougherty, diserahkan pada Brigjen F.O. Chilton. Tentara Australia menangani Indonesia Timur bukan saja secara sangat keras, tapi memang dengan misi jelas untuk membangun kembali kolonialisme Belanda. Jadi, pasukan Sekutu di wilayah ini berjuang agar Belanda secepatnya membangun kekuasaan lagi. Penyebabnya dapat diduga, karena ketika Jepang masuk Nusantara pasukan dan pemerintahan Hindia Belanda pergi mengungsi ke Australia dan berjuang sama-sama sebagai Pasukan Sekutu di front Pasifik. Perjuangan mereka melawan Jepang di Papua Nugini dan sekitarnya sangatlah susah payah serta mengalami banyak korban nyawa.
Hanya dalam 3 pekan antara September dan Oktober 1945, semua kota besar di Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku serta tentu saja Irian telah diduduki dengan pasukan berkekuatan besar, dan memberi kesempatan Belanda/NICA (Netherlands Indies Civil Administration) membangun pemerintahannya. Pasukan Belanda pun leluasa didatangkan, atau dibangun kembali di mana-mana. Lengkap dengan polisi rahasianya, NEFIS dan PID, yang terkenal ganas itu. Residensi Manado (Sulawesi Utara) terbilang yang pertama mengkonsolidasi tentara NICA, sebagian besar dari ex-KNIL. Tgl 29 Oktober 1945 Jenderal Chilton terang-terangan mengeluarkan edaran resmi: melarang warga membawa senjata tajam, berkumpul, latihan militer dalam bentuk apapun, tembak di tempat barangsiapa yang kedapatan mengganggu fasilitas umum, sampai larangan memakai seragam mirip tentara. Jadi, jauh bertolak belakang dengan fasilitas yang diberikan Sekutu bagi para laskar pejuang di Jawa.
Januari 1946, saat Chilton digantikan Brigjen D.E. Touton, Chilton masih menegaskan bahwa policy Sekutu tidak akan berubah: tegas mengamankan proses rekolonialisme Belanda, memerangi pihak manapun yang mengganggu! Adalah Jenderal Chilton pula yang terus-menerus meneror Gubernur RI Untuk Sulawesi Dr. Sam Ratulangi, membujuk dan memaksa, agar beralih pro-Belanda. Pernah langsung diterbitkan aturan resmi disertai ancaman menangkap Ratulangi [— 3 bulan kemudian Ratulangi memang dipenjarakan lalu dibuang ke Serui, Papua]. Dan, salahsatu puncaknya, akhir 1946 itu juga, pasukan Baret Hijau di bawah pimpinan Westerling membantai ribuan warga di Sulawesi Selatan!
Apresiasi Justru Harus Lebih
Jadi, bila membandingkan perjuangan fisik antara Indonesia timur dan barat, khususnya pada periode Oktober 1945-Maret 1946, justru harus sebaliknya: setiap gerakan kecil pro-RI di timur harus dinilai lebih besar daripada gerakan lebih besar yang ada di barat/Jawa. Karena tingkat kesukaran dan bahayanya memang jauh berbeda. Di dalam periode itulah Peristiwa Merah-Putih di Sulut terjadi, Kamis 14 Februari 1946.
Chalie Taulu, Frans Bisman, Mais Wuisan dan Frans Nelwan, memimpin pasukan KNIL yang mengambil alih kekuasaan di markas di Teling. Para perwira pemimpin pasukan NICA ditawan. Wangko Sumanti memimpin perebutan pusat telekomunikasi pemerintahan militer Belanda. Sedang konsolidasi politik di masyarakat sudah berlangsung sebelumnya oleh para politisi republikan dan pemuda militan yang tergabung dalam Barisan Pemuda Nasional Indonesia. Sejumlah pentolan BPNI, yakni John Rahasia, Yeppi Polii, Louis Paat, Wim Pangalila, Usman Pulakadang, dan lain-lain, sudah ditangkap Belanda sejak 9 Januari 1946.
Pasukan republikan yang mulai bergerak pukul 1.00 itu berhasil melumpuhkan lawan. Setelah membelenggu komandan markas, Letnan Verwaayen, pukul 3.00 Komandan Garnizun Manado Kapten Blom pun berhasil ditangkap. Siangnya, pucuk pimpinan KNIL Sulawes Utara Overste De Vries dan Residen Coomans de Ruyter beserta seluruh jajaran pemeritah NICA dijebloskan dalam tahanan. Setelah itu gerakan dilanjutkan, untuk menghindari ancaman bahaya lain yang tak kalah besar, mengambil alih kamp tahanan Jepang yang berisi 8000 tentara.
Berita keberhasian pun segera dipancarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Bergema di Radio Australia, BBC London, Inggris, dan Radio San Fransisco, Amerika Serikat. Sejak 14 Februari 1946 sang merah-putih bebas berkibar di mana-mana hingga setiap pelosok. Dimulai dengan aksi Ben Mowiling, Tommy Mantouw dan Derk Kapojos yang menggunting bagian warna biru bendera Belanda di markas NICA di Tomohon, di depan mata para pejabat NICA yang hanya bisa menitikkan air mata.
‘Pengakuan Multilateral’
Sedemikian mengguncangnya pukulan itu, pihak Sekutu sampai mengajukan tawaran berunding. Karena Belanda sudah dianggap tidak legitim, sudah ditawan. Dan karena Sekutu adalah gabungan sejumlah negara penguasa dunia, maka tak salah bila sikap mereka terhadap Gerakan Pro-RI 14 Februari di Sulut itu sebagai ‘pengakuan multilateral’.
Perundingan berlangsung tanggal 24 Februari 1946 di atas kapal tentara Sekutu, SS “El-Libertador”, di pantai Manado. Sersan Mayor Ch.Ch.Taulu, yang sebagai Komandan Tentara RI Sulawesi Utara (TRISU) sudah dinaikkan pangkat menjadi Letkol, dan B.W.Lapian, pejuang dan kepala distrik yang sudah diangkat jadi Kepala Pemerintahan RI Sulawesi Utara, lebih dulu menuntut diturunkannya bendera Belanda di kapal itu. Bena Lapian dan Chali Taulu pun tegas menolak setiap pasal rundingan yang merugikan kepentingan Indonesia. Luarbiasa! Hasil perundingan yang ditandatangani Ketua Delegasi Tentara Sekutu Colonel Purcell, yang sudah dia siapkan sebelumnya: menyerahkan misi utama Sekutu (mengenai tentara Jepang dan tawanan Perang Dunia II) kepada pemerintahan Lapian!
Berdampak Besar dan Strategis
Sayang sekali, pemerintahn revolusioner RI di Sulut itu harus berakhir tanggal 11 Maret 1946. Akibat kontra-kudeta yang dipimpin Kapten Johanes Kaseger. Kaseger mulai bergerak dengan berhasil memengaruhi Serma Papilaya, Serma Latuperisa, dan lain-lain, di Kompi 143 Wangurer. Namun bagaimanapun, Gerakan Merah Putih 14 Februari 1946 di Sulawesi Utara itu adalah wujud perjuangan besar. Belum lagi jika kita melihat dampak positifnya yang sangat strategis.
Dalam kancah perjuangan diplomatik, Nicodemus Lambertus Palar langsung menggemakan peristiwa heroik yang terjadi di kampung halamannya itu dalam forum PBB di Lake Success. Ia mematahkan argument dari Duta Kerajaan Belanda yang terus-menerus meyakinkan dunia internasional bahwa yang disebut Negara RI cuma meliputi sebagian Jawa dan Sumatera.
Salah satu dampak penting dan strategis Peristiwa 14 Februari 1946 di Sulawesi Utara yaitu menjadi modal nasionalisme di kalangan pemuda daerah ini. Sehingga, meski di sisi lain terkenal sebagai “masyarakat kebelanda-belandaan” dan menjadi lumbung SDM yang diandalkan bagi tentara Hindia Belanda sejak puluhan tahun, tetapi pada 1949-1950, dengan semangat yang sama dan dengan sebagian besar aktor politik yang sama, ditambah sejumlah pejuang yang kembali dari front Jogja seperti Ventje Sumual, mereka kembali menjadi satu-satunya gerakan di seluruh Indonesia yang dengan berhasil merebut kekuasaan militer dari KNIL melalui Peristiwa 3 Mei 1950.
Bandingkan dengan KNIL di wilayah lain, misalnya di Sulawesi Selatan yang masih mengalami pertumpahan darah berlarut-larut, bahkan kudeta oleh Kapten KNIL Andi Aziz. Begitu pula di Jawa Barat dan Jakarta yang sempat mengalami penumpahan darah oleh APRA pada 1950. Keberhasilan Keberhasilan Gerakan 3 Mei itulah yang kemudian membentuk pasukan resmi TNI pertama di seluruh Indonesia Timur.
Pasukan yang dipimpin Brandes Angkouw, dengan para komandan pasukan Sam Mangindaan, No’ Korompis, Goan Sangkaeng, Wellem Maleke, Alex Pakasi dan Jan Rombot ini menjadi modal pasukan pertama RIS yang ditempatkan di Makassar. Merekalah yang berhasil menahan gerakan Andi Aziz, sebelum datangnya Batalyon Worang dan kemudian sejumlah brigade yang dipimpin Kol. Lex Kawilarang (di dalamnya termasuk Brig.Garuda Mataram yg dikomandani Letkol Soeharto—kelak Presiden RI). Pasukan bentukan gerakan 3 Mei ini pula, yakni Batalyon 3 Mei yang dikomandani Mamengko, yang berjasa besar dalam penumpasan sisa-sisa kolonialisme di Maluku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar