Jumat, 29 Januari 2016

Bencana dan Tangis Seorang Nenek

(mengenang tragedi bencana Manado, 15 Januari 2014)

Kisah cengkerama bencana dan tangis seorang nenek di antara pergantian sebuah musim
Saat gunung mengirim air dan merendam jengkal-jengkal rumah serta harapan sunyi perempuan tua
Segala doa dari airmatanya jadi kepingan-kepingan nestapa yang melesap ke dalam bencana
Baginya, tak ada lagi tempat bersujud karena segala tanah tlah menjelma padang air tanpa tepi
Baginya, tak ada lagi jalan berlari sebab sudut-sudut kota tlah memajang kehancuran yang ngeri
Padahal kemarin dia masih berwajah riang menyirami setunas kata bersama senja
Padahal semalam dia sempat menerbangkan pucuk gelisah yang ketika itu berdiri menyapa kesepiannya
Dan lalu paginya mahda angin dan bianglala hilang dijemput gelora air
Wajah keriputnya yang biasa menggambar dera kian pucat pasi tergerus gelisah
Tangannya gemetaran perlahan dan terangkat hingga tubuhnya terguncang hebat
Mata rabunnya terbelalak menatap sebuah pahatan di dinding langit keruh

Dialogia Kisah Beku

Hei, apa kabar senja yang lama setia membalut lukamu di batas pantai?
Tak masalah jika kau tetap diam sementara aku juga tetap dalam celoteh tanpa ujung.

Mungkin kau ingat, jika kita lama mengerami penyesalan serupa kesetiaan barisan para penjaga kesakralan kuil.
Kita pun biasa membiarkan ilalang memenuhi sepetak telaga harapan lalu ia menggenang dangkal.
Hingga tak lagi kita temukan kejernihan air serupa Narsis tergoda pada bayang wajahnya sendiri.
Hingga akhirnya kita tak lagi punya apa-apa untuk memaknai pergulatan zaman yang perlahan beku.
Semua kekeruhan menjelma jadi hitungan sebab musabab daun-daun jatuh yang digantung dalam angka.

Pemabuk Tua Dan Sepi

Pemabuk tua dan sepi
Dua kawan sejati
Bersatu dalam kepedihan
Bersama merindukan malam

Pemabuk tua dan sepi
Dua kawan sejati
Sama-sama terlantar tanpa selimut yang bisa membungkus kidung sengsara
Sempoyongan dan lalu terkapar tanpa daya di pelataran peradaban kota yang bisu

Kopi dan Kidung Amorina

Ini pagi yang basah
Tetes embun dan lambai daun luruh dalam doa
Dan seketika itupun rohku terbang mengembara

Di teras itu, kuhirup aroma kenangan dalam kenikmatan segelas kopi
Terkadang melintas bayangan wajahmu yang bergegas memburu malam
Lalu ditelan sunyi yang kejam seumpama belati tercecer di antara magma

Nelayan di Utara

"O, kasihan, gelap di Selatan"
Doa lelaki itu sembari genggam panggayung
Minta Tuhan agar badai jangan datang ke sana
Ke tempat rintihan doa yang akan dikayuhkannya
Agar hari itu akan ada sepotong rejeki
Buat tambal sedikit susah perjuangan hidup

"O, kasihan, masih gelap di Selatan"
Sekejap meluncurlah biduk bersayap bambu itu ke arah laut

La Rosa

Moga hatimu ditumbuhi Mawar
Merambat hingga ke jantung
Memerah di sekujur kenangan

Meski ingatan tentang itu telah berlari sejauh mimpi
La Rosa, ingatkah kalau kita pernah punya kisah petualangan bersama?

Di hadapan deru ombak dan iringan cericit jangkrik kala itu
Rebahlah jiwa lelah kita di atas hamparan pasir basah
Daun-daun ketapang ikut menari dan blingsatan ditambur angin

Mengiringi nafas kita yang perlahan terengah-engah dan telanjang
Lalu seketika lautpun jadi kita
Lalu langitpun jadi kita
Dan anginpun jadi kita

La Rosa, kita lupa sementara lekuk wajah gelisah kota
Pajangan dingin etalase-etalase
Percintaan kita jadi seumpama seutas benang yang dipintal tanpa ritme

Mata Sebuah Batas Waktu

Bila akhirnya hari ini kita bergandengan tangan
Dan menatap cakrawala bersama
Jalan Tuhanlah yang kita tempuh
Mata kita kini hanya tertuju ke sebuah batas waktu
Yang dikaruniakan entah sampai kapan

Musim Tak Bersimfoni

Amor, jika hari ini kau lihat wajahku masih pucat pasi
Itu berarti aku masih menyeret sisa semangat mengejar matahari
Sebelum semuanya beranjak hilang di kaki langit, dan
Juga tafakurku lenyap dalam putaran musim

Amor, aku ingin kembali ke daratan nasib itu
Ketika musim berubah kejam dan tak ingin bersimfoni
Agar kita bertemu lagi
Agar kau mau kembali mengajariku
Seribu kisah tentang takdir lautan
Agar perlahan kepedihanku mampu memintal ombak
Jadi benang dan menambal satu per satu lubang resah

Dipanggilnya Lautan Itu Ibu

Gadis mungil
Dengan perahu kecil
Padang pucat di bulan dan ilalang kering di tepi muara sungai
Tersketsa pada dinding kertasnya

Gadis mungil
Wajah polos
Dengan perahu kecil
Melipat tangan dan menghanyutkan doanya ke rahim lautan
Meminta moga mimpi-mimpi resah tak lagi datang mendekat

Masak


Masih Bujang


Listrik Padam


Dingin